Rabu, 07 Agustus 2013

Etnografi suku Yah'ray

Suku Yah’ray merupakan salah satu suku di Papua Selatan yang berada di antara  Kabupaten Asmat dan kabupaten Mapi. Di sebelah utara wilayah kediaman orang Marind-anim mengalirlah Sungai Digul yang besar dan menurun dari daerah pegunungan. Melalui daerah pegunungan ini (barangkali daerah Sepik) datanglah dahulu kala suatu suku bangsa yang melayari Sungai Kao,  yang kemudian  bermuara ke Sungai Digul dan turun sampai bermuara di laut. Ketika ternyata dengan perahu-batang-pohon mereka tidak bisa pergi lebih jauh, maka orang-orang ini yang menamakan diri mereka orang Yah’ray sehingga mereka memasuki daerah muara sungai, yaitu daerah yang waktu itu milik suatu suku  yang kurang bernafsu perang yaitu orang Awyu.
Makanan pokok suku Yah’ray adalah sagu. Selain itu mereka juga berburu, beternak babi dan menangkap ikan untuk melangsungkan hidup mereka sehari-hari. Seperti suku lain di Papua, masyarakat Yah’ray juga sangat akrab dengan alam dan karena itu mereka percaya bahwa ada pribadi tak kelihatan yang menciptakan kehidupan dan mengatur seluruh alam semesta. Maka itu, tugas yang harus dijalankan oleh orang Yah’ray adalah memelihara dan mengusahakannya dengan sebaik-baiknya. Mereka juga mengenal pribadi-pribadi baik pria maupun wanita yang disebut “para penglihat”. Mereka ini amat terpandang dalam hubungannya dengan makhluk-makhluk dari dunia yang tak kelihatan, orang-orang yang sudah meninggal, dan juga dalam hubungannya dengan roh-roh. Dalam hal kesenian, masyarakat Yah’ray memiliki tari-tarian dan lagu-lagu yang biasanya dipraktekkan saat pesta-pesta budaya setempat.

1.  Lokasi, Lingkungan Alam dan Demografi
Keadaan alam daerah kediaman orang Yah’ray umumnya terdiri-dari barisan bukit-bukit rendah, yang merupakan sekat-sekat air di antara sungai-sungai. Bukit-bukit ini biasanya menjulang di atas hamparan rawa-rawa yang sering kali merupakan daerah perluasan sungai-sungai. Di dalam lembah-lembah di antara bukit-bukit itu membentanglah hutan sagu yang amat luas sehingga tanahnya pun subur untuk diolah dan ditanami.
Daerah Yah’ray termasuk daerah tropika yang curah hujannya cukup tinggi namun ada juga musim kemarau yang panjang. Hal ini menyebabkan daerah Yah’ray mengenal dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan biasanya terjadi pada bulan November sampai Mei, sedangkan musim kemarau biasanya terjadi pada bulan  Juni sampai Oktober.
Meskipun makanan pokoknya sagu namun masyarakat Yah’ray khususnya kaum peramu, nelayan dan pemburu juga mengenal usaha bertanam kelapa, pisang, dan tembakau. Sebenarnya semua usaha ini hanya untuk pemakaian langsung. Maka kelihatannya seakan orang Yah’ray itu bisa hidup sebagai kaum profitur yang santai dari kelimpahan sagu, daging, dan ikan. Tampaknya mereka itu seperti tinggal mengambil saja apa yang dikehendaki. Padahal keadaan yang sebenarnya, bahwa padang-padang sagu yang padat ditumbuhi itu, rawa-rawa dengan rumput-rumput kiambang yang tinggi-tinggi merupakan tempat yang tidak aman karena daerah-daerah itu dahulu setiap hari merupakan tempat serangan dari kaum penghadang. Tambahan pula bahwa ada masa dimana sering terjadi air pasang sampai berbulan-bulan di rawa-rawa itu sehingga kadangkala orang sulit untuk mencari dan menangkap ikan. Namun kini tidak seperti dulu lagi karena selalu terjadi pergantian musim. Misalnya dari musim hujan beralih ke musim kemarau yang memungkinkan orang Yah’ray untuk mencari kebutuhan hidupnya masing-masing.

2.  Asal Mula dan Sejarah Suku Bangsa  Yah’ray
Setiap suku bangsa di dunia pasti memiliki sebuah mitos atau cerita tentang asal usul sukunya masing-masing. Demikian pula yang terjadi pada suku Yah’ray. Oleh karena itu, berikut ini adalah salah satu mite yang “kemungkinan” dipercayai oleh orang Yah’ray tentang sejarah terciptanya manusia, khususnya manusia Yah’ray.   
Suatu hari matahari mengumpulkan manusia (entah muncul dari mana) di suatu bukit bernama “Gaino” untuk menyampaikan suatu maklumat kepada mereka. Matahari kemudian berkata: “kepada kamu, aku akan memberikan sesuatu yang berharga. Maka itu, di sana berkumpul-lah para pria dan wanita. Di bukit Gaino itu duduk pula seorang wanita yang amat tua. Dan kepada orang-orang yang berkumpul itu matahari memberikan perintah untuk mengusir si wanita tua itu. Lalu apa yang terjadi? Rupanya laki-laki sudah berusaha keras untuk mengusirnya namun usaha mereka sia-sia. Melihat ini, maka matahari menjatuhkan kulitnya ke bawah, kulit kehidupan kekal. Tetapi justru wanita tua itulah yang menangkap kulit matahari itu dan langsung memakannya lalu kemudian ia menghilang dalam lubang tanah sebagai seekor ular.”
Matahari berkata, karena kamu tidak berhasil merebut kehidupan yang kekal, yang aku mau berikan, maka sekarang aku mengirimkan senjata-senjata tajam dan kamu harus berperang dan memenggal kepala orang lalu makan daging mereka hingga habis. Setelah manusia mematuhi perintah matahari itu, maka selanjutnya dari sinilah matahari mulai memberi kata-kata wasiatnya demikian: kamu akan berkembang menjadi sebuah bangsa yang besar dan keturunanmu tetap bertahan sampai kehidupan yang abadi. Dengan demikian, manusia-manusia itu beranak cucu hingga saat ini kita menyebutnya dengan nama suku Yah’ray.


3.  Bahasa
Bahasa merupakan salah satu sarana komunikasi yang paling fundamen dalam seluruh hidup manusia di bumi ini. Mengapa? Buktinya adalah di manapun manusia berada, pasti di situ menggunakan bahasanya masing-masing. Bahasa membantu dan mendukung setiap orang untuk dapat berelasi dengan orang lain. Cara apapun yang digunakan dalam berelasi atau berkontak dengan sesama, tetaplah merupakan sebuah sarana komunikasi bagi kelangsungan hidup kelompok tersebut.
Bertolak dari pernyataan-pernyataan yang sudah dikemukakan di atas, maka bahasa yang digunakan oleh masyarakat Yah’ray adalah bahasa Yah’ray. Bahasa suku ini berkerabat dengan bahasa orang Marind-anim dan orang Boazi, yaitu penduduk wilayah sungai fly. Kekerabatan bahasa itu memperkuat dugaan, bahwa juga atas dasar persetujuan-persetujuan adat dapat dikatakan, bahwa dahulu ketika suku ini barangkali datang bersama-sama dari daerah pegunungan dan menyebarkan diri ke tiga jurusan. Dan satu hal yang perlu kita ketahui bersama adalah selain menggunakan bahasa Yah’ray, masyarakat Yah’ray juga menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan masyarakat dari luar daerah Yah’ray.

4.  Sistem Teknologi
Teknologi asli masyarakat Yah’ray amat sederhana dan mereka terkenal sebagai masyarakat yang suka bekerja keras. Alat-alat utama (tradisional) mereka terbuat dari batu, kayu dan bambu. Misalnya dalam mengolah tanah perkebunan, mereka menggunakan kayu panjang yang telah diruncing, kapak batu untuk menebang pohon, perahu-perahu dan tombak untuk kepentingan perang-perangan serta anak panah dan busur untuk berburu dan menangkap ikan.
Selain mengandalkan alat-alat dalam melangsungkan hidup, masyarakat Yah’ray juga mengandalkan kekuatan-kekuatan yang berasal dari magi. Misalnya ada magi untuk berburu, magi untuk bertani atau bercocok tanam, magi untuk membuat hujan dan magi untuk menangkap ikan. Inilah beberapa magi yang sering digunakan oleh masyarakat Yah’ray dalam mencari dan menemukan apa yang diharapkan. Praktek hidup seperti ini tentu saja disebabkan oleh kedekatan mereka dengan magi dan roh-roh yang menguasai alam semesta tempat dimana mereka berada.

5.  Sistem Mata Pencaharian

Masyarakat yang berdomisili di wilayah pesisir pantai dalam hal ini khususnya masyarakat Yah’ray umumnya memiliki lahan sagu sebagai makanan pokok. Makanan pokok tersebut dilengkapi dengan ikan dan sayur-sayuran dari hutan dan rawa, dan dengan daging hasil buruan binatang-binatang liar yang tidak banyak terdapat di sana seperti babi hutan, kasuari, burung-burung, dan binatang-binatang kecil lainnya. Mengambil tepung sagu dari sabut-sabutnya merupakan pekerjaan kaum wanita karena biasanya mereka melakukan pekerjaan ini bersama-sama dalam kelompok. Sedangkan memasang jerat untuk ikan di rawa-rawa dan untuk binatang liar di hutan-hutan merupakan pekerjaan kaum pria. Sementara itu, kebiasaan menangkap ikan merupakan pekerjaan kedua jenis kelamin (baik pria maupun wanita). Tiap jenis kelamin melakukan pekerjaan tersebut dengan caranya masing-masing. Singkat kata dapat dikatakan bahwa selain sagu sebagai sumber utama untuk mempertahankan hidup orang Yah’ray, mereka juga beternak babi, berburu dan menangkap ikan.
Menyangkut pekerjaan-pekerjaan yang lain seperti: membangun rumah, membuat perahu, berkelahi dan pergi mengayau dilakukan bersama-sama oleh kaum pria dan wanita, tetapi dalam hal itu tugas masing-masing kelompok itu digariskan dengan jelas. Tetapi perlu diingat bahwa selalu ada kaum pria di tempat kaum wanita bekerja, sebab di masa dahulu orang selalu harus memikirkan kemungkinan datangnya serangan-serangan musuh dari kampung-kampung lain atau malahan juga tindakan-tindakan permusuhan dari kelompok-kelompok lain di dalam persekutuan kediaman yang sama. Maka itu, tidaklah mengherankan bila pekerjaan kaum wanita kadangkala dilakukan oleh kaum pria terutama ketika para wanita itu hamil.

6.  Organisasi Sosial
Secara umum organisasi kemasyarakatan pada suku Yah’ray tidak mengenal sistem organisasi sosial yang bersifat formal. Salah satu faktor yang mempengaruhi tidak adanya sistem organisasi sosial yang resmi di suku Yah’ray ialah karena sifat orang Yahray pada umumnya sangat individualistik. Artinya bahwa setiap keluarga hidup sendiri-sendiri dalam dusunnya, dan mengusahakan hidupnya masing-masing. Namun perlu diingat bahwa secara informal hal ini bukan berarti sama sekali tidak ada sistem organisasi dalam suku bangsa Yah’ray. Mengapa? Karena hal yang mengindikasikan bahwa sistem organisasi itu ada adalah beberapa keluarga yang dekat hubungan darahnya membangun sebuah rumah besar sebagai tempat tinggal bersama, adanya kebiasaan pesta-pesta adat, kompak dalam menghadapi perang dengan suku lain dan juga pada saat mengikuti kegiatan bersama seperti gotong royong, dan seterusnya. Di sini secara tidak langsung terjadi yang namanya “sistem organisasi sosial” dalam masyarakat suku Yah’ray.
Selain itu, orang Yah’ray juga mengenal suatu keterikatan istimewa dengan sekelompok pribadi tertentu, yang mengitari dia sebagai jalur pengaman. Kelompok ini bisa disebut sebagai in group seseorang. Termasuk di dalam kelompok ini keluarga-keluarga dan kerabatnya yang dekat, yang mana bekerja dalam kelompok umur yang sama (melalui ayah atau ibu mereka). Tetapi kecuali ikatan ini, setiap orang Yah’ray yang dewasa memiliki ikatan-ikatan istimewa tertentu yang lain sama sekali dari kelompok-kelompok umur yang lain. Ikatan-ikatan ini bermodelkan apa yang bagi orang Yah’ray merupakan ikatan yang ideal, yakni ikatan dua orang pria yang telah menukar saudari mereka dan saling menyerahkan saudari itu untuk dinikahi. Seperti kedua pasangan itu, dua pasangan orangtua akan berbuat serupa bila pasangan yang satu mengangkat anak dari pasangan yang lain. Begitu juga tindak-tanduk kaum pria yang telah menikam mati seorang lawan di medan pertempuran dan kaum pria yang telah memenggal kepala orang yang ditikam  mati itu, atas permintaan pria yang lain itu. Hubungan semacam itu timbul lagi di antara pasangan-pasangan orangtua bila pasangan yang satu memiliki tengkorak sementara pasangan yang lain memiliki rahang bawah tengkorak yang sama itu. Ikatan-ikatan pribadi yang agak longgar muncul juga di antara kaum pria yang saling memberi makan sagu secara seremonial atau bila anak-anak memperoleh nama dari orang lain. Ikatan-ikatan inilah yang akan menjamin keamanan seseorang dan persediaan makanan seseorang bila terjadi kesulitan. Seluruh terminologi keluarga, yang biasanya bersandar pada kekeluargaan darah dan kekerabatan mendapat tambahan serangkaian gelar. Ikatan semacam itu berlangsung terus sampai turun-temurun.
Di dalam persekutuan-persekutuan anggota masyarakat Yah’ray baik kaum pria maupun kaum wanita serta anak-anak dari berbagai kelompok umur yang berlainan, dikuasai oleh para kepala kelompok dan mereka ini adalah tokoh-tokoh yang bisa sampai ke puncak ketenaran karena memiliki kekuatan tempur. Mereka-mereka ini merupakan pendekar-pendekar yang besar karena paling banyak mencacat jumlah kepala manusia yang dikayau atas nama mereka sendiri. Akan tetapi menarik sekali bahwa di samping para pemimpin perang ini, ada pula tokoh-tokoh lain yang diberi wewenang. Mereka itu antara lain: para penasehat yang diakui, ahli-ahli adat, pria dan wanita yang akan diminta bantuannya atau yang tampil sendiri bila ada perundingan untuk mencegah atau memperburuk pertempuran. Wewenang mereka dipandang tinggi sekali: sekalipun mereka itu tidak mengayau kepala manusia, mereka juga boleh memiliki istri lebih banyak. Sebagai kelompok ketiga orang-orang terkemuka, orang Yah’ray mengenal juga pribadi-pribadi pria dan wanita yang mereka menyebutnya dengan istilah “Para Penglihat”. Mereka itu amat terpandang dalam hubungannya dengan makhluk-makhluk dari dunia yang tak kelihatan, orang-orang yang sudah meninggal, dan juga dalam hubungannya dengan roh-roh. 
7.  Pandangan Suku Yah’ray Terhadap Alam Semesta dan Sesama
Melanesia pada umumnya maupun Suku Yah’ray pada khususnya, percaya bahwa alam semesta dan segala isinya diciptakan oleh pribadi yang tak kelihatan. Tentu saja pribadi tersebut menguasai segala sesuatu. Maka itu, Ia berperan penting dalam menentukan nasib hidup manusia Yah’ray sehingga Ia akan nampak dalam hasil perburuan, hasil bercocok tanam maupun hasil menangkap ikan. Artinya bahwa orang Yah’ray percaya bahwa perolehan hasil yang memuaskan tersebut merupakan campur tangan dari pribadi yang tak kelihatan itu.
Selain itu, hal lain yang paling esensial dalam kehidupan orang Yah’ray adalah pandangannya tentang “ALAM” sebagai “IBU”, yang memberikan mereka kehidupan atau memberikan mereka sumber makanan sehari-hari. Untuk itu, hutan dan sungai adalah tempat mereka memperoleh sumber makanan, yaitu dengan cara berburu, beternak, bercocok tanam dan juga tempat mereka menangkap ikan. Oleh karena itu, orang-orang Yah’ray selalu membangun relasi yang harmonis dengan alam sambil menjaga dan melestarikannya.
Sementara itu orang Yah’ray menyebut dirinya sebagai manusia sejati. Artinya lahir tanpa ada percampuran darah dengan suku bangsa lain. Untuk itu, orang Yah’ray memiliki kewajiban untuk menjaga dan melestarikan rahasia-rahasia dalam sukunya  sendiri tanpa menghina suku yang lain. Satu hal yang menarik adalah sikap seorang ayah terhadap anak-anaknya. Misalnya seorang ayah tidak akan bertindak sebagai hakim atau penengah di antara dua orang anak pria yang sudah dikategorikan sebagai pribadi yang dewasa dalam mengambil sikap ataupun suatu keputusan tertentu.
Adapun nasehat-nasehat yang diberikan oleh seorang pemimpin perang yang tua kepada kaum pria yang ingin menikah yaitu dengan mengatakan: “istri yang baik haruslah memiliki sifat-sifat yang baik, setia, pendiam, ramah tamah, dan lebih dari itu adalah orangnya harus rajin. Dia harus memberikan jaminan, bahwa dia akan memelihara suami dan anak-anaknya dengan baik dan oleh karena itu sangatlah diharapkan, dia nanti diperbolehkan masuk ke daerah yang baik. Maka, jangan memilih gadis yang menyeleweng, yang suka cemburu, cerewet, dan lebih-lebih jangan kalau gadis itu memiliki sifat malas atau galak”. Sedangkan kepada kaum wanita yang ingin menikah dikatakan bahwa “suami yang baik adalah pejuang yang kekar, yang dalam kehidupan sehari-harinya bisa bekerja dengan rajin. Dari dia diharapkan, supaya dia secara teratur pergi berburu dan hasil perolehannya itu  dibagi-bagikannya kepada banyak keluarganya. Dia harus bisa membangun sebuah rumah yang kuat dan dapat pula membuat perahu yang baik. Dia harus kuat, berani, rajin dan sedia berbagi, bisa bertindak tegas dan dapat dipercaya serta bisa diajak kerja sama dengan orang lain. Jangan memilih pemuda yang terkenal karena pengecut, yang mau senang sendiri atau kikir, yang kejam, kurang ajar, sombong dan gila kuasa serta pemuda yang membahayakan  keamanan istri dan anak-anaknya sendiri”. Seluruh pemaparan di atas mau memperlihatkan betapa besar nilai alam dan sesama menurut pandangan orang Yah’ray.

8.  Sistem Pengetahuan
Seperti kehidupan suku lain di Melanesia, kehidupam suku Yah’ray juga sangat dekat dengan alam tempat dimana mereka hidup. Karena hidupnya yang dekat dengan alam maka orang Yah’ray juga lebih banyak belajar dari simbol-simbol alam dan pengalaman hidup harian. Misalnya orang Yah’ray sejak zaman dahulu mempunyai pengetahuan tentang dunia flora yang merupakan salah satu pengetahuan dasar bagi kehidupan manusia Yah’ray, terutama ketika orang Yah’ray mulai dengan gaya hidup bercocok tanam atau saat membuat kebun baru dan hidup meramu. Di sini mereka sudah tahu bagaimana harus mengolah tanah dan mencari kebutuhan hidup. Begitu juga dengan pengetahuan tentang dunia fauna yang juga menjadi pengetahuan mendasar bagi kehidupan suku Yah’ray terutama ketika orang Yah’ray mulai dengan gaya hidup berburu, beternak, dan menangkap ikan. Di sini mereka sudah memiliki pengetahuan dasar tentang bagaimana mereka harus mencari dan mengumpulkan hasil kerja keras mereka itu. Ada juga pengetahuan tentang bagaimana kaum wanita harus bersalin, sopan santun dalam pergaulan, adat-istiadat, sistem norma, hukum adat dan sebagainya. Semua praktek hidup di atas sudah mendara daging dalam kehidupan orang Yah’ray sebelum pengaruh dunia modern menyentuh wilayah suku Yah’ray.
Pengetahuan yang diperoleh di atas lebih banyak didapat orang Yah’ray dari pengalaman yang bersifat informal terutama lewat pengalaman hidup yang sudah diwariskan secara turun-temurun hingga saat ini. Selain itu, ada juga pengetahuan yang diajarkan secara formal oleh para orangtua kepada anak-anak mereka yaitu melalui proses inisiasi. Pengetahuan yang didapat melalui inisiasi ini bersifat rahasia. Mengapa? Karena pengetahuan yang diajarkan dalam proses inisiasi lebih pada pengetahuan tentang roh-roh nenek moyang, hal-hal gaib, mite  tentang sejarah suku, dan beberapa tempat keramat lainnya. Pengetahuan formal ini bersifat rahasia sehingga tidak dapat diceritakan kepada sembarangan orang. Inilah sistem pengetahuan yang sudah tertanam kuat dalam kehidupan orang Yah’ray sejak turun-temurun hingga saat ini.
9.  Sistem Religi/Agama
Seperti suku lain di Papua, suku Yah’ray juga mempercayai akan adanya suatu rahasia hidup yang menguasai manusia. Rahasia hidup itu diberi nama “Matahari”. Mengapa? Karena mereka percaya bahwa di dalam matahari terdapat suatu lambang Makhluk Tertinggi. Makhluk itu sekurang-kurangnya memberikan makanan pokok yang dibutuhkan dan bersedia memberikan jaminan keabadian hidup, dan bila hal itu gagal maka Ia akan berusaha membantu manusia Yah’ray supaya bisa mempertahankan dirinya sendiri, yang mengurus hal yang baik dan yang jahat, dan bisa bertindak membalas sesuatu.
Pada satu pihak memang benar, bahwa Makhluk Tertinggi ini oleh orang Yah’ray ditempatkan di dalam struktur mereka sebagai seorang “kakek” dan bahwa orang Yah’ray berani memperlihatkan rasa tidak senangnya kepada Makhluk itu, bila gagal panen hasil kebun berupa: sagu, sayur-mayur, lauk-pauk, dll. Akan tetapi pada pihak lain hal itu menimbulkan pikiran, sebab pemimpin perang yang besar yakni Jaende dari Kepi, dengan jelas menempatkan Makhluk Tertinggi ini di atas persekutuan manusiawi. Dalam suatu kesempatan, Jaende menekankan bahwa posisi Matahari harus berada terpisah dari para Leluhur karena leluhur hanyalah manusia biasa seperti orang Yah’ray ketimbang Matahari sebagai Makhluk yang Tertinggi. Maka itu, ketika Jaende mendengar lebih banyak tentang bagaimana agama Kristen itu berkembang secara pesat, beliau menegaskan bahwa “Apa yang kalian sebut Tuhan Allah, kami sebut Matahari”. Dari sebab itu tidak benar, bahwa orang Yah’ray hanya memasukkan orang lain ke dalam kelompoknya sendiri (keterikatan kekeluargaan), tetapi dengan jelas dia menempatkan orang lain itu pada diri mereka sendiri (bentuk kekerabatan). Di sini orang yang paling kuat dialamatkan kepada para pemimpin perang dan matahari.
Para pengayau dipandang sebagai pembebas karena sudah membuktikan kekuatannya dengan membebaskan orang dari perkabungan, memberi pengakuan terhadap pasangan suami-istri yang baru menikah, memberi pedoman kepada generasi berikut, dan telah mengoreksi hierarki para fungsionaris. Fungsi ini dijalankan oleh si pengayau itu dalam ketaatannya kepada undang-undang yang telah dipermaklumkan oleh matahari. Ketaatan ini, yang mereka sendiri tampilkan sebagai gelar, yang atasnya matahari dapat memberikan mereka kehidupan dan kemakmuran. Juga disini motivasinya masih terutama keuntungan sendiri, tetapi perumusannya adalah: “sekarang jangan lagi engkau membiarkan anak-anak kami mati”. Di sini kedengaran sekali seperti sebuah doa. Matahari berdiri terpisah dari para leluhur karena matahari bukanlah dema, melainkan dewa.
 Ada juga keyakinan dari masyarakat Yah’ray bahwa bila seseorang yang sudah lama menderita sakit maka ia harus mengakui kesalahan-kesalahannya kepada “Penasehat” sehingga dengan demikian mengharapkan suatu keselamatan dan kesembuhan. Atau seseorang yang lalim berani mengakui kekurangan-kekurangannya di sini dan menempatkannya di dalam suatu ikatan yang lebih besar. Misalnya: orang Yah’ray dapat menerima kekalahan dan memulai yang baru lagi sehingga pergi melalui kegelapan, bangkit dari alam maut, diminta dari tanda-tanda kehormatan bagi orang Yah’ray, yang akan diterima oleh para pengayau yang hebat. 
10.     Kesenian
Masyarakat Yah’ray mengenal beberapa jenis tarian dan lagu-lagu sehingga tentu saja tari-tarian yang dilakukan selalu diiringi dengan lagu-lagu atau nyanyian. Pesta-pesta yang diiringi dengan tarian dan nyanyi-nyanyian biasanya dipentaskan pada saat acara penjemputan pemimpin perang beserta seluruh rombongannya ketika pulang dari medan pertempuran. Alat-alat kesenian yang mereka gunakan adalah: Tifa, Ukulele, Pikon dan Seruling Bambu. Mereka bersuka cita karena berhasil mengalahkan musuh. Dalam situasi demikian, seorang pengayau akan menggantungkan sebuah kepala manusia di lengan istrinya, dan di atas kepala mereka berdua itu sebuah kelapa dibelah oleh seorang pemimpin perang terkemuka. Pada kesempatan itu ia akan menunjukkan segala tindakan kepahlawanannya dengan suara yang nyaring agar semua orang dapat mendengar dan menyaksikannya. Setelah itu orang mempersiapkan pesta penutupan yang besar.
Di dalam pesta-pesta besar seperti yang sudah disebutkan di atas, masyarakat Yah’ray khususnya para orangtua juga memperbolehkan anak-anaknya untuk mengikuti proses inisiasi melalui cara memotong rambut yang dilakukan oleh seorang pengayau, dan kepada mereka yang sudah berhasil mengayau, diberikan tanda-tanda kehormatan menurut tingkat pengayauan mereka masing-masing. Termasuk di dalam pesta ini juga, perayaan hubungan-hubungan khusus yang ditimbulkan oleh perjalanan pengayauan di antara para penikam dan pengayau, dan di antara para pemilik tengkorak dan pemilik rahang. Pesta ini ditutup dengan suatu pawai besar-besaran, yang berlangsung di sekeliling tempat pesta, yang mana diikuti oleh seluruh peserta. Setelah itu penasehat yang tertua mengucapkan doa yang dialamatkan kepada matahari: “Sekarang kami telah merayakan pesta, seperti yang Engkau kehendaki. Maka janganlah membiarkan anak-anak kami mati lagi dan jangan biarkan wanita-wanita kami meninggal waktu melahirkan anak ”. Bila semua orang sudah pulang ke rumah, maka para pemimpin berkumpul lagi. Di atas kepala yang dikayau itu, ujung pisau pengayau yang dihiasi sebagai tanda kehormatan dipatahkan. Sementara itu orang mengatakan “pesta yang dahulu itu tidak tulen, maka kami mempersiapkan pesta baru yang tulen”. Dengan demikian, dimulailah siklus baru pesta-pesta pembaharuan di sekeliling pengayauan. Setidak-tidaknya demikianlah yang terjadi di masa lampau. 
  
Situasi Terkini Suku Yah’ray
Kita perlu ketahui bersama bahwa kehidupan setiap manusia amat mustahil sekali kalau dibilang berjalan ditempat (statis). Mengapa? Karena setiap kehidupan manusia selalu terjadi perubahan atau perkembangan. Faktor utamanya adalah karena adanya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang semakin canggih. Demikian juga dengan kebudayaan suku Yah’ray yang selalu mengalami hal yang sama dari generasi ke generasi. Bila kita berbicara menyangkut perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Yah’ray, maka tentu saja tidak luput dari perubahan–perubahan yang sifatnya positif maupun negatif. Dalam tugas ini saya akan mencoba untuk memperlihatkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Yah’ray terkait dengan nilai-nilai hidup yang dihayati akibat masuknya budaya dari luar.
Ø  Bahasa
Suku Yah’ray masih menggunakan bahasa daerah sebagai sarana komunikasi di antara mereka. Dalam situasi demikian, ketika pemerintah Indonesia masuk di wilayah suku Yah’ray mereka cukup mengalami kesulitan dalam berelasi dengan masyarakat setempat karena masalah bahasa. Bertolak dari alasan ini maka pemerintah menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu antara satu dengan yang lain. Setelah itu apa yang terjadi? Yang terjadi adalah bahasa Yah’ray hanya dipakai untuk berkomunikasi dengan orang Yah’ray sendiri. Sedangkan untuk berkomunikasi dengan orang dari luar suku Yah’ray mereka menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu, satu hal yang memprihatinkan adalah ada kecenderungan bahwa beberapa anak muda yang lahir dan besar di luar suku Yah’ray tidak aktif dalam berbicara bahasa Yah’ray.
Ø  Sistem Teknologi
Dengan adanya perkembangan zaman yang modern ini, maka alat-alat yang digunakan oleh masyarakat Yah’ray juga tidak seperti dulu lagi alias kini sudah berkembang. Misalnya, dulu saat berkebun masyarakat menggunakan alat-alat tradisonal seperti kapak batu, tongkat penggali dan sebagainya namun kini mereka menggunakan kapak besi, parang, sekop, cangkul dan sebagainya. Atau misalnya dulu mereka menggunakan busur-panah dan tombak untuk berburu dan mencari ikan namun kini mereka menggunakan senapan, perangkap, alat mancing dan sebagainya. Di sini sistem teknologi pun sudah mengalami kemajuan.
Ø  Sistem Mata Pencaharian
Menyangkut bagian ini, masyarakat Yah’ray tidak hanya menggunakan sagu sebagai sumber hidup tetapi juga ada  tanaman lain yang dapat menunjang kehidupan mereka. Misalnya: beras, karet, cengkeh, kelapa sawit, dan seterusnya. Kini, hasil tanaman akan diperdagangkan demi memperoleh uang rupiah. Untuk menjual hasil tanaman maupun hasil buruan yang diperoleh, mereka pergi ke pasar yang sudah disediahkan oleh pemerintah daerah setempat. Namun satu hal yang memprihatinkan adalah dari hasil tanaman maupun buruan yang diperoleh tersebut, mereka tidak lagi saling membagi di antara keluarga terdekat tetapi itu semua ikut diperdagangkan demi menunjang kehidupan keluarga.
Ø  Organisasi sosial
Masyarakat Yah’ray yang dulunya hidup sendiri-sendiri, kini dikumpulkan dalam sebuah lembaga kecil yang disebut desa. Dari Desa dibentuklah Kabupaten, Provinsi hingga Pemerintahan pusat yakni Presiden. Tentu saja dibentuk dengan tujuan agar memudahkan proses kemajuan dan pembangunan daerah setempat. Maka itu, kepala desa diangkat oleh masyarakat setempat demi mengkoordinir kegiatan pemerintah yang dilaksanakan di desa tersebut. Di sini masyarakat dituntut untuk taat pada aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah padahal dulu mereka hidup bebas tanpa tekanan dari pihak luar. Sekarang sudah nampak sekali bahwa kehidupan individual kurang menonjol ketimbang hidup dalam sebuah organisasi sosial yang sangat formal.
Ø  Pandangan Terhadap Alam Semesta dan Sesama
Pandangan orang Yah’ray terhadap alam dan sesama yang sudah terjalin dengan baik sejak turun-temurun tersebut masih tetap dijaga dan dilestarikan hingga saat ini. Mengapa? Karena alam masih dianggap sebagai “IBU” yang selalu memberikan kehidupan kepada mereka. Maka itu, tidak ada alasan untuk menyangkal alam sebagai sumber kehidupan bagi orang Yah’ray.
Orang Yah’ray mengakui dirinya sebagai manusia sejati/tulen alias bukan palsu karena tidak ada percampuran kawin dengan orang dari luar suku Yah’ray. Namun mereka akan melihat orang Yah’ray itu sendiri sebagai orang luar alias bukan manusia sejati lagi apabila seseorang menikah dengan suku lain.  Sementara orang dari luar suku Yah’ray akan dianggap sebagai saudara sejauh ia menghormati dan menghargai kebudayaan Yah’ray dan jika sebaliknya maka orang di luar suku Yah’ray dianggap musuh yang harus di hindari alias diusir. Satu hal yang amat memprihatinkan adalah kehadiran pemerintah membuat tempat hidup dari dunia flora dan fauna semakin terancam karena terjadi penebangan hutan secara besar-besaran demi pembangunan dan kemajuan daerah setempat. Keprihatinan lainnya adalah dengan adanya perkawinan beda suku, maka secara tidak langsung suku Yah’ray akan punah secara perlahan-lahan.   
Ø  Sistem Pengetahuan
Selain pengetahuan yang diperoleh dari warisan nenek-moyang maupun dari pengalaman hidup, orang Yah’ray juga tidak mau ketinggalan dengan perkembangan zaman yang terjadi. Orang Yah’ray kini punya pandangan yang luas bahwa dengan mengenyam pendidikan formal, mereka juga mampu bersaing dengan dunia luar secara sehat. Apalagi dengan bersekolah, mereka mampu memperoleh banyak pengetahuan yang sebelumnya mereka tidak ketahui. Dengan bersekolah juga mereka yakin akan mendapat pekerjaan yang lebih memadai khususnya di berbagai instansi kepemerintahan. Bertolak dari beberapa alasan di atas, maka orang Yah’ray dengan inisiatif sendiri membangun sekolah-sekolah agar mereka memperoleh pendidikan secara baik seperti daerah lain di Indonesia. Satu hal lain adalah walaupun pendidikan formal sudah diberlakukan di dalam suku Yah’ray namun nasehat-nasehat dari para orangtua maupun adat istiadat yang dipraktekkan lewat proses inisiasi tetap dipertahankan hingga saat ini.
Ø  Sistem Religi atau Agama
Seiring dengan perkembangan zaman, maka masyarakat Yah’ray sudah mengenal akan adanya agama-agama dunia seperti: agama Katolik, Protestan, Islam, Hindu, Budha dan juga Konghucu. Dari sekian agama yang ada ini, masyarakat Yah’ray pada umumnya memeluk agama Kristen (baik Katolik maupun Protestan). Namun satu hal yang perlu diingat adalah kepercayaan-kepercayaan nenek moyang tentang hal-hal gaib tidak dilupakan. Misalnya: pemujaan terhadap dewa Matahari sebagai Makhluk Tertinggi. Di sini masyarakat Yah’ray masih mempraktekkannya ketika hendak membuka sebuah lahan baru atau hendak pergi untuk berburu guna mendatangkan hasil yang memuaskan. Hal ini mau memperlihatkan bahwa meskipun mereka telah beragama namun tidak berarti meninggalkan kepercayaan-kepercayaan nenek moyang mereka yang mana sudah diwariskan secara turun temurun itu. Sementara bagi masyarakat Yah’ray yang telah hidup merantau dan kemudian berpendidikan, mereka tetap memegang agama sebagai kepercayaan tanpa mengabaikan hal-hal gaib yang berlaku di sukunya sendiri.
Ø  Kesenian
Walaupun di tengah dunia yang serba modern ini, dalam aspek kesenian tidak banyak yang mengalami perubahan. Mengapa? Karena lagu-lagu dan tarian tradisional tetap menjadi bagian utama dalam suatu acara adat. Namun perubahan yang terjadi sekarang adalah masuknya alat musik baru yang lebih modern dari pada tifa, Ukulele, pikon, seruling bambu dan beberapa alat musik tradisional lainnya. Sementara itu, alat-alat musik modern ini umumnya digunakan atau dimainkan saat acara-acara yang diadakan oleh lembaga agama maupun pemerintah dalam suatu kegiatan formal tertentu.   

PENUTUP

1.  Kesimpulan
Setiap suku di suatu daerah pasti memiliki ciri khasnya masing-masing. Artinya, sifat khas yang dimiliki oleh suku yang satu pastilah berbeda dengan suku yang lain. Selain memiliki keunikannya masing-masing, setiap kebudayaan juga selalu mengalami perkembangan atau perubahan di berbagai sektor kehidupan. Hal yang sama juga terlihat pada suku Yah’ray. Namun  berbicara mengenai perubahan atau perkembangan, maka tentu saja tidak terlepas dari hal-hal yang bersifat positif maupun negatif seperti yang mau dijelaskan berikut:
Hal-hal positif yang dialami oleh masyarakat Yah’ray antara lain: Pertama, kini mereka mulai menyadari pentingnya nilai-nilai budaya yang ada khususnya warisan nenek moyang mereka sehingga masih dipertahankan hingga saat ini. Kedua: dengan adanya lembaga pendidikan formal maka orang Yah’ray juga kini mampu bersaing dengan orang lain terutama di bidang intelektual, perdagangan, dan sebagainya.
Sementara itu hal-hal negatif yang dialami oleh masyarakat Yah’ray antara lain: Pertama, dengan adanya zaman globalisasi ini, maka secara tidak langsung kebudayaan asli suku Yah’ray juga mulai ikut terkikis secara perlahan-lahan. Sementara di lain sisi, kehadiran pemerintah juga membuat masyarakat Yah’ray yang sudah terbiasa hidup sendiri tanpa organisasi formal kini mulai merasa tertekan karena tidak bebas dalam menjalankan ritme hidupnya yang serba bebas itu. Kedua, ada kecenderungan bahwa anak-anak yang lahir dan besar di luar suku Yah’ray kurang aktif dalam menggunakan bahasa daerah atau bahasa ibu.  
2.  Saran
Dengan melihat realita hidup di berbagai aspek kehidupan saat ini, maka masyarakat Yah’ray perlu melihat secara jelih hal mana yang bersifat positif (mendukung budaya setempat) dan mana yang bersifat negatif (menghancurkan nilai-nilai budaya yang ada). Karena itu masyarakat Yah’ray perlu melakukan penyaringan-penyaringan terhadap setiap budaya dari luar, agar kebudayaan asli tetap terjaga. Namun untuk menjaga dan melestarikannya secara lebih baik, perlu dukungan dan kerja sama antara lembaga agama, lembaga pemerintah dan lembaga adat. Bila hal ini tidak dilakukan, maka yakinlah bahwa budaya yang merupakan identitas diri itu secara tidak langsung akan punah seperti suku Aborigin di Australia. Untuk itu bergeraklah!!! Ingat….kapan lagi kalau bukan dari sekarang….siapa lagi kalau bukan masyarakat Yah’ray sendiri????

Bibliografi
Boelars, Jan. 1984. Manusia Irian: Dahulu, Kini dan Masa Depan. Jakarta: PT. Gramedia.
Kogam, Hieronimus. 1994. Hidup dan model kepemimpinan di Melanesia suatu analisa kasus tentang suku Yah’ray, Skripsi. Jayapura: STFT Fajar Timur.

0 komentar:

Posting Komentar