Suku Yah’ray merupakan salah satu
suku di Papua Selatan yang berada di antara Kabupaten Asmat dan kabupaten Mapi. Di sebelah
utara wilayah kediaman orang Marind-anim mengalirlah Sungai Digul yang besar
dan menurun dari daerah pegunungan. Melalui daerah pegunungan ini (barangkali
daerah Sepik) datanglah dahulu kala suatu suku bangsa yang melayari Sungai
Kao, yang kemudian bermuara ke Sungai Digul dan turun sampai
bermuara di laut. Ketika ternyata dengan perahu-batang-pohon mereka tidak bisa
pergi lebih jauh, maka orang-orang ini yang menamakan diri mereka orang Yah’ray sehingga mereka memasuki daerah
muara sungai, yaitu daerah yang waktu itu milik suatu suku yang kurang bernafsu perang yaitu orang Awyu.
Makanan pokok suku Yah’ray adalah
sagu. Selain itu mereka juga berburu, beternak babi dan menangkap ikan untuk
melangsungkan hidup mereka sehari-hari. Seperti suku lain di Papua, masyarakat
Yah’ray juga sangat akrab dengan alam dan karena itu mereka percaya bahwa ada
pribadi tak kelihatan yang menciptakan kehidupan dan mengatur seluruh alam
semesta. Maka itu, tugas yang harus dijalankan oleh orang Yah’ray adalah
memelihara dan mengusahakannya dengan sebaik-baiknya. Mereka juga mengenal
pribadi-pribadi baik pria maupun wanita yang disebut “para penglihat”. Mereka ini amat terpandang dalam hubungannya
dengan makhluk-makhluk dari dunia yang tak kelihatan, orang-orang yang sudah
meninggal, dan juga dalam hubungannya dengan roh-roh. Dalam hal kesenian,
masyarakat Yah’ray memiliki tari-tarian dan lagu-lagu yang biasanya
dipraktekkan saat pesta-pesta budaya setempat.
1. Lokasi, Lingkungan Alam dan
Demografi
Keadaan
alam daerah kediaman orang Yah’ray umumnya terdiri-dari barisan bukit-bukit
rendah, yang merupakan sekat-sekat air di antara sungai-sungai. Bukit-bukit ini
biasanya menjulang di atas hamparan rawa-rawa yang sering kali merupakan daerah
perluasan sungai-sungai. Di dalam lembah-lembah di antara bukit-bukit itu
membentanglah hutan sagu yang amat luas sehingga tanahnya pun subur untuk diolah
dan ditanami.
Daerah Yah’ray termasuk daerah
tropika yang curah hujannya cukup tinggi namun ada juga musim kemarau yang
panjang. Hal ini menyebabkan daerah Yah’ray mengenal dua musim yaitu musim
hujan dan musim kemarau. Musim hujan biasanya terjadi pada bulan November
sampai Mei, sedangkan musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Juni sampai Oktober.
Meskipun makanan pokoknya sagu
namun masyarakat Yah’ray khususnya kaum peramu, nelayan dan pemburu juga
mengenal usaha bertanam kelapa, pisang, dan tembakau. Sebenarnya semua usaha
ini hanya untuk pemakaian langsung. Maka kelihatannya seakan orang Yah’ray itu
bisa hidup sebagai kaum profitur yang santai dari kelimpahan sagu, daging, dan
ikan. Tampaknya mereka itu seperti tinggal mengambil saja apa yang dikehendaki.
Padahal keadaan yang sebenarnya, bahwa padang-padang sagu yang padat ditumbuhi
itu, rawa-rawa dengan rumput-rumput kiambang yang tinggi-tinggi merupakan tempat
yang tidak aman karena daerah-daerah itu dahulu setiap hari merupakan tempat
serangan dari kaum penghadang. Tambahan pula bahwa ada masa dimana sering
terjadi air pasang sampai berbulan-bulan di rawa-rawa itu sehingga kadangkala
orang sulit untuk mencari dan menangkap ikan. Namun kini tidak seperti dulu
lagi karena selalu terjadi pergantian musim. Misalnya dari musim hujan beralih
ke musim kemarau yang memungkinkan orang Yah’ray untuk mencari kebutuhan
hidupnya masing-masing.
2. Asal Mula dan Sejarah Suku
Bangsa Yah’ray
Setiap
suku bangsa di dunia pasti memiliki sebuah mitos atau cerita tentang asal usul
sukunya masing-masing. Demikian pula yang terjadi pada suku Yah’ray. Oleh
karena itu, berikut ini adalah salah satu mite yang “kemungkinan” dipercayai oleh orang Yah’ray tentang sejarah
terciptanya manusia, khususnya manusia Yah’ray.
Suatu
hari matahari mengumpulkan manusia (entah
muncul dari mana) di suatu bukit bernama “Gaino” untuk menyampaikan suatu
maklumat kepada mereka. Matahari kemudian berkata: “kepada kamu, aku akan
memberikan sesuatu yang berharga. Maka itu, di sana berkumpul-lah para pria dan
wanita. Di bukit Gaino itu duduk pula seorang wanita yang amat tua. Dan kepada
orang-orang yang berkumpul itu matahari memberikan perintah untuk mengusir si
wanita tua itu. Lalu apa yang terjadi? Rupanya laki-laki sudah berusaha keras untuk
mengusirnya namun usaha mereka sia-sia. Melihat ini, maka matahari menjatuhkan
kulitnya ke bawah, kulit kehidupan kekal. Tetapi justru wanita tua itulah yang
menangkap kulit matahari itu dan langsung memakannya lalu kemudian ia menghilang
dalam lubang tanah sebagai seekor ular.”
Matahari
berkata, karena kamu tidak berhasil merebut kehidupan yang kekal, yang aku mau
berikan, maka sekarang aku mengirimkan senjata-senjata tajam dan kamu harus
berperang dan memenggal kepala orang lalu makan daging mereka hingga habis.
Setelah manusia mematuhi perintah matahari itu, maka selanjutnya dari sinilah
matahari mulai memberi kata-kata wasiatnya demikian: kamu akan berkembang
menjadi sebuah bangsa yang besar dan keturunanmu tetap bertahan sampai
kehidupan yang abadi. Dengan demikian, manusia-manusia itu beranak cucu hingga
saat ini kita menyebutnya dengan nama suku Yah’ray.
3. Bahasa
Bahasa
merupakan salah satu sarana komunikasi yang paling fundamen dalam seluruh hidup
manusia di bumi ini. Mengapa? Buktinya adalah di manapun manusia berada, pasti
di situ menggunakan bahasanya masing-masing. Bahasa membantu dan mendukung
setiap orang untuk dapat berelasi dengan orang lain. Cara apapun yang digunakan
dalam berelasi atau berkontak dengan sesama, tetaplah merupakan sebuah sarana
komunikasi bagi kelangsungan hidup kelompok tersebut.
Bertolak dari pernyataan-pernyataan
yang sudah dikemukakan di atas, maka bahasa yang digunakan oleh masyarakat
Yah’ray adalah bahasa Yah’ray. Bahasa suku ini berkerabat dengan bahasa orang
Marind-anim dan orang Boazi, yaitu penduduk wilayah sungai fly. Kekerabatan
bahasa itu memperkuat dugaan, bahwa juga atas dasar persetujuan-persetujuan
adat dapat dikatakan, bahwa dahulu ketika suku ini barangkali datang
bersama-sama dari daerah pegunungan dan menyebarkan diri ke tiga jurusan. Dan
satu hal yang perlu kita ketahui bersama adalah selain menggunakan bahasa
Yah’ray, masyarakat Yah’ray juga menggunakan bahasa Indonesia untuk
berkomunikasi dengan masyarakat dari luar daerah Yah’ray.
4. Sistem Teknologi
Teknologi
asli masyarakat Yah’ray amat sederhana dan mereka terkenal sebagai masyarakat
yang suka bekerja keras. Alat-alat utama (tradisional) mereka terbuat dari batu,
kayu dan bambu. Misalnya dalam mengolah tanah perkebunan, mereka menggunakan
kayu panjang yang telah diruncing, kapak batu untuk menebang pohon, perahu-perahu
dan tombak untuk kepentingan perang-perangan serta anak panah dan busur untuk
berburu dan menangkap ikan.
Selain mengandalkan alat-alat dalam
melangsungkan hidup, masyarakat Yah’ray juga mengandalkan kekuatan-kekuatan
yang berasal dari magi. Misalnya ada magi untuk berburu, magi untuk bertani
atau bercocok tanam, magi untuk membuat hujan dan magi untuk menangkap ikan.
Inilah beberapa magi yang sering digunakan oleh masyarakat Yah’ray dalam
mencari dan menemukan apa yang diharapkan. Praktek hidup seperti ini tentu saja
disebabkan oleh kedekatan mereka dengan magi dan roh-roh yang menguasai alam
semesta tempat dimana mereka berada.
5. Sistem Mata Pencaharian
Masyarakat yang berdomisili di
wilayah pesisir pantai dalam hal ini khususnya masyarakat Yah’ray umumnya
memiliki lahan sagu sebagai makanan pokok. Makanan pokok tersebut dilengkapi
dengan ikan dan sayur-sayuran dari hutan dan rawa, dan dengan daging hasil
buruan binatang-binatang liar yang tidak banyak terdapat di sana seperti babi
hutan, kasuari, burung-burung, dan binatang-binatang kecil lainnya. Mengambil
tepung sagu dari sabut-sabutnya merupakan pekerjaan kaum wanita karena biasanya
mereka melakukan pekerjaan ini bersama-sama dalam kelompok. Sedangkan memasang
jerat untuk ikan di rawa-rawa dan untuk binatang liar di hutan-hutan merupakan
pekerjaan kaum pria. Sementara itu, kebiasaan menangkap ikan merupakan
pekerjaan kedua jenis kelamin (baik pria maupun wanita). Tiap jenis kelamin
melakukan pekerjaan tersebut dengan caranya masing-masing. Singkat kata dapat
dikatakan bahwa selain sagu sebagai sumber utama untuk mempertahankan hidup
orang Yah’ray, mereka juga beternak babi, berburu dan menangkap ikan.
Menyangkut pekerjaan-pekerjaan yang
lain seperti: membangun rumah, membuat perahu, berkelahi dan pergi mengayau
dilakukan bersama-sama oleh kaum pria dan wanita, tetapi dalam hal itu tugas
masing-masing kelompok itu digariskan dengan jelas. Tetapi perlu diingat bahwa
selalu ada kaum pria di tempat kaum wanita bekerja, sebab di masa dahulu orang
selalu harus memikirkan kemungkinan datangnya serangan-serangan musuh dari
kampung-kampung lain atau malahan juga tindakan-tindakan permusuhan dari
kelompok-kelompok lain di dalam persekutuan kediaman yang sama. Maka itu,
tidaklah mengherankan bila pekerjaan kaum wanita kadangkala dilakukan oleh kaum
pria terutama ketika para wanita itu hamil.
6. Organisasi Sosial
Secara
umum organisasi kemasyarakatan pada suku Yah’ray tidak mengenal sistem
organisasi sosial yang bersifat formal. Salah
satu faktor yang mempengaruhi tidak adanya sistem organisasi sosial yang resmi
di suku Yah’ray ialah karena sifat orang Yahray pada umumnya sangat individualistik.
Artinya bahwa setiap keluarga hidup sendiri-sendiri dalam dusunnya, dan
mengusahakan hidupnya masing-masing. Namun perlu diingat bahwa secara informal hal ini bukan berarti sama
sekali tidak ada sistem organisasi dalam suku bangsa Yah’ray. Mengapa? Karena
hal yang mengindikasikan bahwa sistem organisasi itu ada adalah beberapa
keluarga yang dekat hubungan darahnya membangun sebuah rumah besar sebagai
tempat tinggal bersama, adanya kebiasaan pesta-pesta adat, kompak dalam
menghadapi perang dengan suku lain dan juga pada saat mengikuti kegiatan
bersama seperti gotong royong, dan seterusnya. Di sini secara tidak langsung
terjadi yang namanya “sistem organisasi sosial” dalam masyarakat suku Yah’ray.
Selain
itu, orang Yah’ray juga mengenal suatu keterikatan istimewa dengan sekelompok
pribadi tertentu, yang mengitari dia sebagai jalur pengaman. Kelompok ini bisa
disebut sebagai in group seseorang.
Termasuk di dalam kelompok ini keluarga-keluarga dan kerabatnya yang dekat,
yang mana bekerja dalam kelompok umur yang sama (melalui ayah atau ibu mereka).
Tetapi kecuali ikatan ini, setiap orang Yah’ray yang dewasa memiliki
ikatan-ikatan istimewa tertentu yang lain sama sekali dari kelompok-kelompok
umur yang lain. Ikatan-ikatan ini bermodelkan apa yang bagi orang Yah’ray
merupakan ikatan yang ideal, yakni ikatan dua orang pria yang telah menukar
saudari mereka dan saling menyerahkan saudari itu untuk dinikahi. Seperti kedua
pasangan itu, dua pasangan orangtua akan berbuat serupa bila pasangan yang satu
mengangkat anak dari pasangan yang lain. Begitu juga tindak-tanduk kaum pria
yang telah menikam mati seorang lawan di medan pertempuran dan kaum pria yang
telah memenggal kepala orang yang ditikam
mati itu, atas permintaan pria yang lain itu. Hubungan semacam itu
timbul lagi di antara pasangan-pasangan orangtua bila pasangan yang satu
memiliki tengkorak sementara pasangan yang lain memiliki rahang bawah tengkorak
yang sama itu. Ikatan-ikatan pribadi yang agak longgar muncul juga di antara
kaum pria yang saling memberi makan sagu secara seremonial atau bila anak-anak
memperoleh nama dari orang lain. Ikatan-ikatan inilah yang akan menjamin
keamanan seseorang dan persediaan makanan seseorang bila terjadi kesulitan.
Seluruh terminologi keluarga, yang biasanya bersandar pada kekeluargaan darah
dan kekerabatan mendapat tambahan serangkaian gelar. Ikatan semacam itu berlangsung
terus sampai turun-temurun.
Di
dalam persekutuan-persekutuan anggota masyarakat Yah’ray baik kaum pria maupun
kaum wanita serta anak-anak dari berbagai kelompok umur yang berlainan,
dikuasai oleh para kepala kelompok dan mereka ini adalah tokoh-tokoh yang bisa
sampai ke puncak ketenaran karena memiliki kekuatan tempur. Mereka-mereka ini
merupakan pendekar-pendekar yang besar karena paling banyak mencacat jumlah
kepala manusia yang dikayau atas nama mereka sendiri. Akan tetapi menarik
sekali bahwa di samping para pemimpin perang ini, ada pula tokoh-tokoh lain
yang diberi wewenang. Mereka itu antara lain: para penasehat yang diakui,
ahli-ahli adat, pria dan wanita yang akan diminta bantuannya atau yang tampil
sendiri bila ada perundingan untuk mencegah atau memperburuk pertempuran.
Wewenang mereka dipandang tinggi sekali: sekalipun mereka itu tidak mengayau
kepala manusia, mereka juga boleh memiliki istri lebih banyak. Sebagai kelompok
ketiga orang-orang terkemuka, orang Yah’ray mengenal juga pribadi-pribadi pria
dan wanita yang mereka menyebutnya dengan istilah “Para Penglihat”. Mereka itu
amat terpandang dalam hubungannya dengan makhluk-makhluk dari dunia yang tak
kelihatan, orang-orang yang sudah meninggal, dan juga dalam hubungannya dengan roh-roh.
7. Pandangan Suku Yah’ray Terhadap
Alam Semesta dan Sesama
Melanesia
pada umumnya maupun Suku Yah’ray pada khususnya, percaya bahwa alam semesta dan
segala isinya diciptakan oleh pribadi yang tak kelihatan. Tentu saja pribadi
tersebut menguasai segala sesuatu. Maka itu, Ia berperan penting dalam
menentukan nasib hidup manusia Yah’ray sehingga Ia akan nampak dalam hasil
perburuan, hasil bercocok tanam maupun hasil menangkap ikan. Artinya bahwa
orang Yah’ray percaya bahwa perolehan hasil yang memuaskan tersebut merupakan campur
tangan dari pribadi yang tak kelihatan itu.
Selain itu, hal lain yang paling
esensial dalam kehidupan orang Yah’ray adalah pandangannya tentang “ALAM”
sebagai “IBU”, yang memberikan mereka kehidupan atau memberikan mereka sumber
makanan sehari-hari. Untuk itu, hutan dan sungai adalah tempat mereka
memperoleh sumber makanan, yaitu dengan cara berburu, beternak, bercocok tanam
dan juga tempat mereka menangkap ikan. Oleh karena itu, orang-orang Yah’ray selalu
membangun relasi yang harmonis dengan alam sambil menjaga dan melestarikannya.
Sementara itu orang Yah’ray
menyebut dirinya sebagai manusia sejati. Artinya lahir tanpa ada percampuran
darah dengan suku bangsa lain. Untuk itu, orang Yah’ray memiliki kewajiban
untuk menjaga dan melestarikan rahasia-rahasia dalam sukunya sendiri tanpa menghina suku yang lain. Satu
hal yang menarik adalah sikap seorang ayah terhadap anak-anaknya. Misalnya
seorang ayah tidak akan bertindak sebagai hakim atau penengah di antara dua
orang anak pria yang sudah dikategorikan sebagai pribadi yang dewasa dalam
mengambil sikap ataupun suatu keputusan tertentu.
Adapun nasehat-nasehat yang
diberikan oleh seorang pemimpin perang yang tua kepada kaum pria yang ingin menikah yaitu dengan mengatakan: “istri yang
baik haruslah memiliki sifat-sifat yang baik, setia, pendiam, ramah tamah, dan
lebih dari itu adalah orangnya harus rajin. Dia harus memberikan jaminan, bahwa
dia akan memelihara suami dan anak-anaknya dengan baik dan oleh karena itu
sangatlah diharapkan, dia nanti diperbolehkan masuk ke daerah yang baik. Maka,
jangan memilih gadis yang menyeleweng, yang suka cemburu, cerewet, dan
lebih-lebih jangan kalau gadis itu memiliki sifat malas atau galak”. Sedangkan kepada
kaum wanita yang ingin menikah dikatakan
bahwa “suami yang baik adalah pejuang yang kekar, yang dalam kehidupan
sehari-harinya bisa bekerja dengan rajin. Dari dia diharapkan, supaya dia
secara teratur pergi berburu dan hasil perolehannya itu dibagi-bagikannya kepada banyak keluarganya.
Dia harus bisa membangun sebuah rumah yang kuat dan dapat pula membuat perahu
yang baik. Dia harus kuat, berani, rajin dan sedia berbagi, bisa bertindak
tegas dan dapat dipercaya serta bisa diajak kerja sama dengan orang lain.
Jangan memilih pemuda yang terkenal karena pengecut, yang mau senang sendiri
atau kikir, yang kejam, kurang ajar, sombong dan gila kuasa serta pemuda yang
membahayakan keamanan istri dan
anak-anaknya sendiri”. Seluruh pemaparan di atas mau memperlihatkan betapa besar
nilai alam dan sesama menurut pandangan orang Yah’ray.
8. Sistem Pengetahuan
Seperti
kehidupan suku lain di Melanesia, kehidupam suku Yah’ray juga sangat dekat
dengan alam tempat dimana mereka hidup. Karena hidupnya yang dekat dengan alam
maka orang Yah’ray juga lebih banyak belajar dari simbol-simbol alam dan
pengalaman hidup harian. Misalnya orang Yah’ray sejak zaman dahulu mempunyai
pengetahuan tentang dunia flora yang merupakan salah satu pengetahuan dasar
bagi kehidupan manusia Yah’ray, terutama ketika orang Yah’ray mulai dengan gaya
hidup bercocok tanam atau saat membuat kebun baru dan hidup meramu. Di sini
mereka sudah tahu bagaimana harus mengolah tanah dan mencari kebutuhan hidup.
Begitu juga dengan pengetahuan tentang dunia fauna yang juga menjadi
pengetahuan mendasar bagi kehidupan suku Yah’ray terutama ketika orang Yah’ray
mulai dengan gaya hidup berburu, beternak, dan menangkap ikan. Di sini mereka
sudah memiliki pengetahuan dasar tentang bagaimana mereka harus mencari dan
mengumpulkan hasil kerja keras mereka itu. Ada juga pengetahuan tentang
bagaimana kaum wanita harus bersalin, sopan santun dalam pergaulan,
adat-istiadat, sistem norma, hukum adat dan sebagainya. Semua praktek hidup di
atas sudah mendara daging dalam kehidupan orang Yah’ray sebelum pengaruh dunia
modern menyentuh wilayah suku Yah’ray.
Pengetahuan
yang diperoleh di atas lebih banyak didapat orang Yah’ray dari pengalaman yang
bersifat informal terutama lewat pengalaman hidup yang sudah diwariskan secara
turun-temurun hingga saat ini. Selain itu, ada juga pengetahuan yang diajarkan
secara formal oleh para orangtua kepada anak-anak mereka yaitu melalui proses
inisiasi. Pengetahuan yang didapat melalui inisiasi ini bersifat rahasia.
Mengapa? Karena pengetahuan yang diajarkan dalam proses inisiasi lebih pada
pengetahuan tentang roh-roh nenek moyang, hal-hal gaib, mite tentang sejarah suku, dan beberapa tempat
keramat lainnya. Pengetahuan formal ini bersifat rahasia sehingga tidak dapat
diceritakan kepada sembarangan orang. Inilah sistem pengetahuan yang sudah
tertanam kuat dalam kehidupan orang Yah’ray sejak turun-temurun hingga saat
ini.
9. Sistem Religi/Agama
Seperti
suku lain di Papua, suku Yah’ray juga mempercayai akan adanya suatu rahasia
hidup yang menguasai manusia. Rahasia hidup itu diberi nama “Matahari”.
Mengapa? Karena mereka percaya bahwa di dalam matahari terdapat suatu lambang Makhluk Tertinggi. Makhluk itu
sekurang-kurangnya memberikan makanan pokok yang dibutuhkan dan bersedia
memberikan jaminan keabadian hidup, dan bila hal itu gagal maka Ia akan
berusaha membantu manusia Yah’ray supaya bisa mempertahankan dirinya sendiri,
yang mengurus hal yang baik dan yang jahat, dan bisa bertindak membalas
sesuatu.
Pada
satu pihak memang benar, bahwa Makhluk Tertinggi ini oleh orang Yah’ray
ditempatkan di dalam struktur mereka sebagai seorang “kakek” dan bahwa orang Yah’ray berani memperlihatkan rasa tidak
senangnya kepada Makhluk itu, bila gagal panen hasil kebun berupa: sagu,
sayur-mayur, lauk-pauk, dll. Akan tetapi pada pihak lain hal itu menimbulkan
pikiran, sebab pemimpin perang yang besar yakni Jaende dari Kepi, dengan jelas
menempatkan Makhluk Tertinggi ini di atas persekutuan manusiawi. Dalam suatu
kesempatan, Jaende menekankan bahwa posisi Matahari harus berada terpisah dari
para Leluhur karena leluhur hanyalah manusia biasa seperti orang Yah’ray
ketimbang Matahari sebagai Makhluk yang Tertinggi. Maka itu, ketika Jaende
mendengar lebih banyak tentang bagaimana agama Kristen itu berkembang secara
pesat, beliau menegaskan bahwa “Apa yang
kalian sebut Tuhan Allah, kami sebut Matahari”. Dari sebab itu tidak benar,
bahwa orang Yah’ray hanya memasukkan orang lain ke dalam kelompoknya sendiri
(keterikatan kekeluargaan), tetapi dengan jelas dia menempatkan orang lain itu
pada diri mereka sendiri (bentuk kekerabatan). Di sini orang yang paling kuat
dialamatkan kepada para pemimpin perang dan matahari.
Para
pengayau dipandang sebagai pembebas karena sudah membuktikan kekuatannya dengan
membebaskan orang dari perkabungan, memberi pengakuan terhadap pasangan suami-istri
yang baru menikah, memberi pedoman kepada generasi berikut, dan telah
mengoreksi hierarki para fungsionaris. Fungsi ini dijalankan oleh si pengayau
itu dalam ketaatannya kepada undang-undang yang telah dipermaklumkan oleh
matahari. Ketaatan ini, yang mereka sendiri tampilkan sebagai gelar, yang
atasnya matahari dapat memberikan mereka kehidupan dan kemakmuran. Juga disini
motivasinya masih terutama keuntungan sendiri, tetapi perumusannya adalah: “sekarang jangan lagi engkau membiarkan
anak-anak kami mati”. Di sini kedengaran sekali seperti sebuah doa.
Matahari berdiri terpisah dari para leluhur karena matahari bukanlah dema,
melainkan dewa.
Ada juga keyakinan dari masyarakat Yah’ray
bahwa bila seseorang yang sudah lama menderita sakit maka ia harus mengakui
kesalahan-kesalahannya kepada “Penasehat” sehingga dengan demikian mengharapkan
suatu keselamatan dan kesembuhan. Atau seseorang yang lalim berani mengakui
kekurangan-kekurangannya di sini dan menempatkannya di dalam suatu ikatan yang
lebih besar. Misalnya: orang Yah’ray dapat menerima kekalahan dan memulai yang
baru lagi sehingga pergi melalui kegelapan, bangkit dari alam maut, diminta dari
tanda-tanda kehormatan bagi orang Yah’ray, yang akan diterima oleh para
pengayau yang hebat.
10. Kesenian
Masyarakat
Yah’ray mengenal beberapa jenis tarian dan lagu-lagu sehingga tentu saja
tari-tarian yang dilakukan selalu diiringi dengan lagu-lagu atau nyanyian. Pesta-pesta
yang diiringi dengan tarian dan nyanyi-nyanyian biasanya dipentaskan pada saat
acara penjemputan pemimpin perang beserta seluruh rombongannya ketika pulang
dari medan pertempuran. Alat-alat kesenian yang mereka gunakan adalah: Tifa,
Ukulele, Pikon dan Seruling Bambu. Mereka bersuka cita karena berhasil
mengalahkan musuh. Dalam situasi demikian, seorang pengayau akan menggantungkan
sebuah kepala manusia di lengan istrinya, dan di atas kepala mereka berdua itu
sebuah kelapa dibelah oleh seorang pemimpin perang terkemuka. Pada kesempatan
itu ia akan menunjukkan segala tindakan kepahlawanannya dengan suara yang
nyaring agar semua orang dapat mendengar dan menyaksikannya. Setelah itu orang
mempersiapkan pesta penutupan yang besar.
Di
dalam pesta-pesta besar seperti yang sudah disebutkan di atas, masyarakat
Yah’ray khususnya para orangtua juga memperbolehkan anak-anaknya untuk mengikuti
proses inisiasi melalui cara memotong rambut yang dilakukan oleh seorang
pengayau, dan kepada mereka yang sudah berhasil mengayau, diberikan tanda-tanda
kehormatan menurut tingkat pengayauan mereka masing-masing. Termasuk di dalam
pesta ini juga, perayaan hubungan-hubungan khusus yang ditimbulkan oleh
perjalanan pengayauan di antara para penikam dan pengayau, dan di antara para
pemilik tengkorak dan pemilik rahang. Pesta ini ditutup dengan suatu pawai
besar-besaran, yang berlangsung di sekeliling tempat pesta, yang mana diikuti
oleh seluruh peserta. Setelah itu penasehat yang tertua mengucapkan doa yang
dialamatkan kepada matahari: “Sekarang
kami telah merayakan pesta, seperti yang Engkau kehendaki. Maka janganlah
membiarkan anak-anak kami mati lagi dan jangan biarkan wanita-wanita kami
meninggal waktu melahirkan anak ”. Bila semua orang sudah pulang ke rumah,
maka para pemimpin berkumpul lagi. Di atas kepala yang dikayau itu, ujung pisau
pengayau yang dihiasi sebagai tanda kehormatan dipatahkan. Sementara itu orang
mengatakan “pesta yang dahulu itu tidak tulen, maka kami mempersiapkan pesta
baru yang tulen”. Dengan demikian, dimulailah siklus baru pesta-pesta
pembaharuan di sekeliling pengayauan. Setidak-tidaknya demikianlah yang terjadi
di masa lampau.
Situasi Terkini Suku Yah’ray
Situasi Terkini Suku Yah’ray
Kita
perlu ketahui bersama bahwa kehidupan setiap manusia amat mustahil sekali kalau
dibilang berjalan ditempat (statis). Mengapa? Karena setiap kehidupan manusia
selalu terjadi perubahan atau perkembangan. Faktor utamanya adalah karena
adanya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang semakin canggih. Demikian
juga dengan kebudayaan suku Yah’ray yang selalu mengalami hal yang sama dari
generasi ke generasi. Bila kita berbicara menyangkut perubahan-perubahan yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat Yah’ray, maka tentu saja tidak luput dari
perubahan–perubahan yang sifatnya positif maupun negatif. Dalam tugas ini saya
akan mencoba untuk memperlihatkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat Yah’ray terkait dengan nilai-nilai hidup yang dihayati
akibat masuknya budaya dari luar.
Ø Bahasa
Suku
Yah’ray masih menggunakan bahasa daerah sebagai sarana komunikasi di antara
mereka. Dalam situasi demikian, ketika pemerintah Indonesia masuk di wilayah
suku Yah’ray mereka cukup mengalami kesulitan dalam berelasi dengan masyarakat
setempat karena masalah bahasa. Bertolak dari alasan ini maka pemerintah
menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu antara satu dengan yang
lain. Setelah itu apa yang terjadi? Yang terjadi adalah bahasa Yah’ray hanya
dipakai untuk berkomunikasi dengan orang Yah’ray sendiri. Sedangkan untuk
berkomunikasi dengan orang dari luar suku Yah’ray mereka menggunakan bahasa Indonesia.
Selain itu, satu hal yang memprihatinkan adalah ada kecenderungan bahwa beberapa
anak muda yang lahir dan besar di luar suku Yah’ray tidak aktif dalam berbicara
bahasa Yah’ray.
Ø Sistem Teknologi
Dengan
adanya perkembangan zaman yang modern ini, maka alat-alat yang digunakan oleh
masyarakat Yah’ray juga tidak seperti dulu lagi alias kini sudah berkembang.
Misalnya, dulu saat berkebun masyarakat menggunakan alat-alat tradisonal
seperti kapak batu, tongkat penggali dan sebagainya namun kini mereka
menggunakan kapak besi, parang, sekop, cangkul dan sebagainya. Atau misalnya
dulu mereka menggunakan busur-panah dan tombak untuk berburu dan mencari ikan namun
kini mereka menggunakan senapan, perangkap, alat mancing dan sebagainya. Di
sini sistem teknologi pun sudah mengalami kemajuan.
Ø Sistem Mata Pencaharian
Menyangkut
bagian ini, masyarakat Yah’ray tidak hanya menggunakan sagu sebagai sumber
hidup tetapi juga ada tanaman lain yang
dapat menunjang kehidupan mereka. Misalnya: beras, karet, cengkeh, kelapa
sawit, dan seterusnya. Kini, hasil tanaman akan diperdagangkan demi memperoleh
uang rupiah. Untuk menjual hasil tanaman maupun hasil buruan yang diperoleh,
mereka pergi ke pasar yang sudah disediahkan oleh pemerintah daerah setempat.
Namun satu hal yang memprihatinkan adalah dari hasil tanaman maupun buruan yang
diperoleh tersebut, mereka tidak lagi saling membagi di antara keluarga
terdekat tetapi itu semua ikut diperdagangkan demi menunjang kehidupan
keluarga.
Ø Organisasi sosial
Masyarakat
Yah’ray yang dulunya hidup sendiri-sendiri, kini dikumpulkan dalam sebuah
lembaga kecil yang disebut desa. Dari Desa dibentuklah Kabupaten, Provinsi
hingga Pemerintahan pusat yakni Presiden. Tentu saja dibentuk dengan tujuan
agar memudahkan proses kemajuan dan pembangunan daerah setempat. Maka itu,
kepala desa diangkat oleh masyarakat setempat demi mengkoordinir kegiatan
pemerintah yang dilaksanakan di desa tersebut. Di sini masyarakat dituntut
untuk taat pada aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah padahal dulu mereka
hidup bebas tanpa tekanan dari pihak luar. Sekarang sudah nampak sekali bahwa
kehidupan individual kurang menonjol ketimbang hidup dalam sebuah organisasi
sosial yang sangat formal.
Ø Pandangan Terhadap Alam
Semesta dan Sesama
Pandangan
orang Yah’ray terhadap alam dan sesama yang sudah terjalin dengan baik sejak
turun-temurun tersebut masih tetap dijaga dan dilestarikan hingga saat ini.
Mengapa? Karena alam masih dianggap sebagai “IBU” yang selalu memberikan
kehidupan kepada mereka. Maka itu, tidak ada alasan untuk menyangkal alam
sebagai sumber kehidupan bagi orang Yah’ray.
Orang
Yah’ray mengakui dirinya sebagai manusia sejati/tulen alias bukan palsu karena
tidak ada percampuran kawin dengan orang dari luar suku Yah’ray. Namun mereka
akan melihat orang Yah’ray itu sendiri sebagai orang luar alias bukan manusia
sejati lagi apabila seseorang menikah dengan suku lain. Sementara orang dari luar suku Yah’ray akan
dianggap sebagai saudara sejauh ia menghormati dan menghargai kebudayaan
Yah’ray dan jika sebaliknya maka orang di luar suku Yah’ray dianggap musuh yang
harus di hindari alias diusir. Satu hal yang amat memprihatinkan adalah
kehadiran pemerintah membuat tempat hidup dari dunia flora dan fauna semakin
terancam karena terjadi penebangan hutan secara besar-besaran demi pembangunan
dan kemajuan daerah setempat. Keprihatinan lainnya adalah dengan adanya
perkawinan beda suku, maka secara tidak langsung suku Yah’ray akan punah secara
perlahan-lahan.
Ø Sistem Pengetahuan
Selain
pengetahuan yang diperoleh dari warisan nenek-moyang maupun dari pengalaman
hidup, orang Yah’ray juga tidak mau ketinggalan dengan perkembangan zaman yang
terjadi. Orang Yah’ray kini punya pandangan yang luas bahwa dengan mengenyam
pendidikan formal, mereka juga mampu bersaing dengan dunia luar secara sehat.
Apalagi dengan bersekolah, mereka mampu memperoleh banyak pengetahuan yang
sebelumnya mereka tidak ketahui. Dengan bersekolah juga mereka yakin akan
mendapat pekerjaan yang lebih memadai khususnya di berbagai instansi
kepemerintahan. Bertolak dari beberapa alasan di atas, maka orang Yah’ray
dengan inisiatif sendiri membangun sekolah-sekolah agar mereka memperoleh
pendidikan secara baik seperti daerah lain di Indonesia. Satu hal lain adalah
walaupun pendidikan formal sudah diberlakukan di dalam suku Yah’ray namun
nasehat-nasehat dari para orangtua maupun adat istiadat yang dipraktekkan lewat
proses inisiasi tetap dipertahankan hingga saat ini.
Ø Sistem Religi atau Agama
Seiring
dengan perkembangan zaman, maka masyarakat Yah’ray sudah mengenal akan adanya
agama-agama dunia seperti: agama Katolik, Protestan, Islam, Hindu, Budha dan
juga Konghucu. Dari sekian agama yang ada ini, masyarakat Yah’ray pada umumnya memeluk
agama Kristen (baik Katolik maupun Protestan). Namun satu hal yang perlu
diingat adalah kepercayaan-kepercayaan nenek moyang tentang hal-hal gaib tidak
dilupakan. Misalnya: pemujaan terhadap dewa Matahari sebagai Makhluk Tertinggi.
Di sini masyarakat Yah’ray masih mempraktekkannya ketika hendak membuka sebuah
lahan baru atau hendak pergi untuk berburu guna mendatangkan hasil yang
memuaskan. Hal ini mau memperlihatkan bahwa meskipun mereka telah beragama
namun tidak berarti meninggalkan kepercayaan-kepercayaan nenek moyang mereka
yang mana sudah diwariskan secara turun temurun itu. Sementara bagi masyarakat
Yah’ray yang telah hidup merantau dan kemudian berpendidikan, mereka tetap
memegang agama sebagai kepercayaan tanpa mengabaikan hal-hal gaib yang berlaku
di sukunya sendiri.
Ø Kesenian
Walaupun
di tengah dunia yang serba modern ini, dalam aspek kesenian tidak banyak yang
mengalami perubahan. Mengapa? Karena lagu-lagu dan tarian tradisional tetap
menjadi bagian utama dalam suatu acara adat. Namun perubahan yang terjadi
sekarang adalah masuknya alat musik baru yang lebih modern dari pada tifa,
Ukulele, pikon, seruling bambu dan beberapa alat musik tradisional lainnya.
Sementara itu, alat-alat musik modern ini umumnya digunakan atau dimainkan saat
acara-acara yang diadakan oleh lembaga agama maupun pemerintah dalam suatu
kegiatan formal tertentu.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Setiap
suku di suatu daerah pasti memiliki ciri khasnya masing-masing. Artinya, sifat
khas yang dimiliki oleh suku yang satu pastilah berbeda dengan suku yang lain. Selain
memiliki keunikannya masing-masing, setiap kebudayaan juga selalu mengalami
perkembangan atau perubahan di berbagai sektor kehidupan. Hal yang sama juga terlihat
pada suku Yah’ray. Namun berbicara
mengenai perubahan atau perkembangan, maka tentu saja tidak terlepas dari
hal-hal yang bersifat positif maupun negatif seperti yang mau dijelaskan berikut:
Hal-hal
positif yang dialami oleh masyarakat Yah’ray antara lain: Pertama, kini mereka
mulai menyadari pentingnya nilai-nilai budaya yang ada khususnya warisan nenek
moyang mereka sehingga masih dipertahankan hingga saat ini. Kedua: dengan
adanya lembaga pendidikan formal maka orang Yah’ray juga kini mampu bersaing
dengan orang lain terutama di bidang intelektual, perdagangan, dan sebagainya.
Sementara
itu hal-hal negatif yang dialami oleh masyarakat Yah’ray antara lain: Pertama,
dengan adanya zaman globalisasi ini, maka secara tidak langsung kebudayaan asli
suku Yah’ray juga mulai ikut terkikis secara perlahan-lahan. Sementara di lain
sisi, kehadiran pemerintah juga membuat masyarakat Yah’ray yang sudah terbiasa
hidup sendiri tanpa organisasi formal kini mulai merasa tertekan karena tidak
bebas dalam menjalankan ritme hidupnya yang serba bebas itu. Kedua, ada
kecenderungan bahwa anak-anak yang lahir dan besar di luar suku Yah’ray kurang
aktif dalam menggunakan bahasa daerah atau bahasa ibu.
2. Saran
Dengan
melihat realita hidup di berbagai aspek kehidupan saat ini, maka masyarakat
Yah’ray perlu melihat secara jelih hal mana yang bersifat positif (mendukung
budaya setempat) dan mana yang bersifat negatif (menghancurkan nilai-nilai
budaya yang ada). Karena itu masyarakat Yah’ray perlu melakukan
penyaringan-penyaringan terhadap setiap budaya dari luar, agar kebudayaan asli
tetap terjaga. Namun untuk menjaga dan melestarikannya secara lebih baik, perlu
dukungan dan kerja sama antara lembaga agama, lembaga pemerintah dan lembaga
adat. Bila hal ini tidak dilakukan, maka yakinlah bahwa budaya yang merupakan
identitas diri itu secara tidak langsung akan punah seperti suku Aborigin di
Australia. Untuk itu bergeraklah!!! Ingat….kapan lagi kalau bukan dari
sekarang….siapa lagi kalau bukan masyarakat Yah’ray sendiri????
Bibliografi
Boelars, Jan. 1984. Manusia Irian: Dahulu, Kini dan Masa Depan.
Jakarta: PT. Gramedia.
Kogam,
Hieronimus. 1994. Hidup dan model
kepemimpinan di Melanesia suatu analisa kasus tentang suku Yah’ray, Skripsi.
Jayapura: STFT Fajar Timur.
0 komentar:
Posting Komentar