Term agama merupakan suatu istilah yang tidak lazim
di dengar dan bahkan mungkin dianut oleh semua orang. Dalam mendefenisikan kata
agama, Durkheim berpendapat bahwa agama merupakan satu sistem yang menyatu
mengenai berbagai kepercayaan dan peribadatan yang berkaitan dengan benda-benda
yang terpisah dan terlarang yang oleh karenanya semua orang yang percaya
dipersatukan dalam suatu komunitas moral. Dalam hal ini ciri kolektif atau
sosial dari dari suatu agama itu sangat ditekankan sehingga agama dapat
dipahami hanya di dalam suatu konteks kehidupan bermasyarakat[1].
Sebagai salah satu elemen dalam masyarakat, agama haruslah
memiliki atau mangambil peran dan posisi tertentu dalam masyarakat agar ia tetap
relevan bagi masyarakat dari waktu ke waktu. Dengan kata lain eksistesi agama
di didalam masyarakat harus diwujudkan dalam bentuk sumbangsih tertentu bagi
kehidupan bersama dalam masyarakat di tempat ia berada. Berpadanan dengan hal
tersebut, maka pada pembahasan selanjutnya saya akan memaparkan salah satu bentuk
peranan dan sumbangsih Gereja Katolik bagi kehidupan masyarakat di Amerika
Latin, yang sering dikenal dengan sebutan “Teologi Pembebasan”.
Ide tentang teologi pembebasan pertama kali
dicetuskan oleh Gustavo Gutierrez asal Peru pada tahun 1971
melalui bukunya, Teologia
de la Liberacion[2].
Ketika itu di Peru dan kawasan Amerika latin lainnya sedang mengalami keterbelakangan,
ketergantungan, keterpinggiran, ketertindasan dan kemiskinan yang diakibatkan
oleh proses industrialisasi yang di mulai sejak tahun 1950-an. Gerakan teologi
pembebasan ini melibatkan sektor-sektor penting gereja (para pastor, pengamal
tarekat atau ordo-ordo dan para uskup), gerakan keagamaan orang awam serta
kelompok-kelompok basis masyarakat gereja yang menghimpun diri menentang
sebab-sebab pemiskinan dan penindasan, atas dasar nalar moral dan kerohanian
yang diilhami oleh budaya keagamaan mereka.
Teologi Pembebasan berkembang sebagai gerakan
keagamaan yang dilatarbelakangi oleh tidak hanya refleksi teologis terhadap
realitas masyarakat namun juga disertai upaya transformasi terhadapnya,
sehingga teologi pembebasan sekaligus juga menjadi sebuah gerakan sosial
yang berupaya untuk melawan pelecehan
terhadap martabat manusia, melawan perampasan oleh mayoritas dan berupaya untuk
membebaskan cinta serta membangun suatu masyarakat baru yang adil dan penuh
persaudaraan yang dilimpahi rahmat Allah.
Dalam kenyataannya teologi pembebasan telah
mengilhami masyarakat dan menyulapnya menjadi sebuah kekuatan besar yang
disebut ‘people power’. Kekuatan
inilah yang akhirnya mengakhiri pelecehan terhadap martabat manusia dengan
perjuangan fisik dan memberi kemerdekaan kepada sejumlah negara di kawasan
Amerika Latin. Teologi pembebasan juga telah membebaskan dan memberikan
kesempatan untuk membangun suatu masyarakat baru. Spirit serupa juga melebar ke
Dunia Ketiga yang memiliki persoalan sama. Misalnya ke beberapa negara Asia
yang mayoritas Katolik, seperti Filipina. Di sana, boleh dibilang people power
yang merupakan ciri khas teologi pembebasanlah yang menjatuhkan persiden Marcos[3].
Perjuangan melawan penindasan, pemiskinan,
sturkturalisasi, keterbelakangan, dan pelecehan terhadap harkat manusia dengan
jalan yang keras dan frontal banyak menuai kritikkan dari berbagai pihak dan
kepausan karena bertentangan dengan ajaran “cinta-kasih”, bahkan melalui pihak
yang berwenang gereja secara resmi mengumumkan teologi pembebasan sebagai
ajaran terlarang. Namun bagaimanapun teologi pembebasan telah banyak memberi
hal positif bagi kehidupan umat manusia di Amerika Latin yang sebelumnya
ditindas.
Benar bahwa meyelesaikan masalah dengan kekerasan
bukanlah pilihan yang terbaik dan utama, namun hal itu tetap menjadi salah satu pilihan
alternatif yang tersedia dari sejumlah pilihan yang tersedia. Apalagi ketika
opsi yang pertama, terbaik dan terutama tidak kunjung mampu untuk menyelesaikan
berbagai permasalahan yang ada. Sehingga bagi sebagian orang Teologi pembebasan
merupakan sebuah ‘fajar baru’ sekaligus menjadi ‘noda hitam’ dalam catatan
sejarah gereja. Ketika kita kembali ke ranah sosial yang sebenarnya maka kita
akan menemukan bahwa “konflik merupakan hal yang wajar” dan mungkin juga
manusiawi.
0 komentar:
Posting Komentar