Rabu, 06 April 2016

Teologi Pembebasan: (Kontekstualisasi Ajaran dan Nilai Keagamaan dalam Konteks Sosial Masyarakat)



Term agama merupakan suatu istilah yang tidak lazim di dengar dan bahkan mungkin dianut oleh semua orang. Dalam mendefenisikan kata agama, Durkheim berpendapat bahwa agama merupakan satu sistem yang menyatu mengenai berbagai kepercayaan dan peribadatan yang berkaitan dengan benda-benda yang terpisah dan terlarang yang oleh karenanya semua orang yang percaya dipersatukan dalam suatu komunitas moral. Dalam hal ini ciri kolektif atau sosial dari dari suatu agama itu sangat ditekankan sehingga agama dapat dipahami hanya di dalam suatu konteks kehidupan bermasyarakat[1].
Sebagai salah satu elemen dalam masyarakat, agama haruslah memiliki atau mangambil peran dan posisi tertentu dalam masyarakat agar ia tetap relevan bagi masyarakat dari waktu ke waktu. Dengan kata lain eksistesi agama di didalam masyarakat harus diwujudkan dalam bentuk sumbangsih tertentu bagi kehidupan bersama dalam masyarakat di tempat ia berada. Berpadanan dengan hal tersebut, maka pada pembahasan selanjutnya saya akan memaparkan salah satu bentuk peranan dan sumbangsih Gereja Katolik bagi kehidupan masyarakat di Amerika Latin, yang sering dikenal dengan sebutan “Teologi Pembebasan”.
Ide tentang teologi pembebasan pertama kali dicetuskan oleh Gustavo Gutierrez asal Peru pada tahun 1971 melalui bukunya, Teologia de la Liberacion[2]. Ketika itu di Peru dan kawasan Amerika latin lainnya sedang mengalami keterbelakangan, ketergantungan, keterpinggiran, ketertindasan dan kemiskinan yang diakibatkan oleh proses industrialisasi yang di mulai sejak tahun 1950-an. Gerakan teologi pembebasan ini melibatkan sektor-sektor penting gereja (para pastor, pengamal tarekat atau ordo-ordo dan para uskup), gerakan keagamaan orang awam serta kelompok-kelompok basis masyarakat gereja yang menghimpun diri menentang sebab-sebab pemiskinan dan penindasan, atas dasar nalar moral dan kerohanian yang diilhami oleh budaya keagamaan mereka.
Teologi Pembebasan berkembang sebagai gerakan keagamaan yang dilatarbelakangi oleh tidak hanya refleksi teologis terhadap realitas masyarakat namun juga disertai upaya transformasi terhadapnya, sehingga teologi pembebasan sekaligus juga menjadi sebuah gerakan sosial yang  berupaya untuk melawan pelecehan terhadap martabat manusia, melawan perampasan oleh mayoritas dan berupaya untuk membebaskan cinta serta membangun suatu masyarakat baru yang adil dan penuh persaudaraan yang dilimpahi rahmat Allah.
Dalam kenyataannya teologi pembebasan telah mengilhami masyarakat dan menyulapnya menjadi sebuah kekuatan besar yang disebut ‘people power’. Kekuatan inilah yang akhirnya mengakhiri pelecehan terhadap martabat manusia dengan perjuangan fisik dan memberi kemerdekaan kepada sejumlah negara di kawasan Amerika Latin. Teologi pembebasan juga telah membebaskan dan memberikan kesempatan untuk membangun suatu masyarakat baru. Spirit serupa juga melebar ke Dunia Ketiga yang memiliki persoalan sama. Misalnya ke beberapa negara Asia yang mayoritas Katolik, seperti Filipina. Di sana, boleh dibilang people power yang merupakan ciri khas teologi pembebasanlah yang menjatuhkan persiden Marcos[3].
Perjuangan melawan penindasan, pemiskinan, sturkturalisasi, keterbelakangan, dan pelecehan terhadap harkat manusia dengan jalan yang keras dan frontal banyak menuai kritikkan dari berbagai pihak dan kepausan karena bertentangan dengan ajaran “cinta-kasih”, bahkan melalui pihak yang berwenang gereja secara resmi mengumumkan teologi pembebasan sebagai ajaran terlarang. Namun bagaimanapun teologi pembebasan telah banyak memberi hal positif bagi kehidupan umat manusia di Amerika Latin yang sebelumnya ditindas.
Benar bahwa meyelesaikan masalah dengan kekerasan bukanlah pilihan yang terbaik dan utama,  namun hal itu tetap menjadi salah satu pilihan alternatif yang tersedia dari sejumlah pilihan yang tersedia. Apalagi ketika opsi yang pertama, terbaik dan terutama tidak kunjung mampu untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada. Sehingga bagi sebagian orang Teologi pembebasan merupakan sebuah ‘fajar baru’ sekaligus menjadi ‘noda hitam’ dalam catatan sejarah gereja. Ketika kita kembali ke ranah sosial yang sebenarnya maka kita akan menemukan bahwa “konflik merupakan hal yang wajar” dan mungkin juga manusiawi.


0 komentar:

Posting Komentar