Apakah agama
dapat diandalkan untuk mengatasi sekian banyak permasalahan manusia pada zaman
ini, ataukah nantinya agama itu akan hilang dengan sendirinya dan tidak relevan
lagi bagi kehidupan manusia?
Inilah pertanyaan dasar untuk mengukur seberapa jauh dan seberapa dalam fungsi dan peranan agama bagi masyarakat ketika terjadi berbagai perubahan besar, entah dalam bidang social maupun dalam bidang ekonomi. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya berangkat dari pandangan bahwa munculnya resistensi terhadap agama tidak jarang dipicu oleh kenyataan bahwa agama tampak sebagai salah satu sumber konflik antar manusia (para pemeluk agama). Terhadap kenyataan konflik tersebut, seolah-olah agama lalu dipandang sebagai sesuatu yang tidak relevan lagi karena dianggap tidak mampu menyelesaikan permasalahan manusia dan bahkan justru menimbulkan permasalahan dan penderitaan bagi manusia.
Inilah pertanyaan dasar untuk mengukur seberapa jauh dan seberapa dalam fungsi dan peranan agama bagi masyarakat ketika terjadi berbagai perubahan besar, entah dalam bidang social maupun dalam bidang ekonomi. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya berangkat dari pandangan bahwa munculnya resistensi terhadap agama tidak jarang dipicu oleh kenyataan bahwa agama tampak sebagai salah satu sumber konflik antar manusia (para pemeluk agama). Terhadap kenyataan konflik tersebut, seolah-olah agama lalu dipandang sebagai sesuatu yang tidak relevan lagi karena dianggap tidak mampu menyelesaikan permasalahan manusia dan bahkan justru menimbulkan permasalahan dan penderitaan bagi manusia.
Namun, sebelum dipaparkan lebih lanjut, hal yang ingin dikatakan bahwa:
agama bukanlah pemicu akan adanya konflik. Alasannya adalah bahwa pada dasarnya setiap agama itu
selalu terkait dengan moralitas. Dalam setiap agama itu terkandung ajaran
tentang perdamaian dan hidup yang baik sehingga dengan sendirinya isi
ajaran tersebut menegasi potensi untuk secara aktif menciptakan konflik dengan
manusia lain.
Yang menjadi
permasalahan adalah bahwa agama sebagai suatu fenomena itu terkait dengan
banyak dimensi, termasuk di dalamnya dimensi sosial. Para pemikir sosial
seperti Durkheim, Marx, dan Weber pun menyiratkan bahwa agama secara
esensial lebih merupakan sesuatu yang beraspek sosial daripada sesuatu yang
murni individual. Karenanya,
dapat dikatakan bahwa ada kaitan yang tak terhindarkan antara agama sebagai
salah satu fenomena sosial dengan banyak aspek kehidupan masyarakat yang lain.
Agama pun dapat dikatakan tidak dapat lepas dari pengaruh-pengaruh konteks
masyrakat dimana agama tersebut berkembang. Pengaruh-pengaruh tersebut lalu
dapat terbawa dalam tradisi dan tidak jarang pula ditemukan bahwa isi
intepretasi ajaran agama sudah mengandung tendensi kepentingan politik tertentu.
Lebih lanjut, Durkheim menggambarkan bahwa sistem kepercayaan atau ritual
keagamaan selalu mengekspresikan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, Durkheim
juga melihat bahwa penghayatan afektif dan emosional individu sangatlah penting
dalam agama. Individu kemudian secara bersama-sama membentuk ikatan emosional
yang kuat terhadap agamanya. Agama lalu dilihat mempunyai aspek
fungsional yakni mempersatukan pengikutnya dalam satu komunitas moral tertentu.
Saya menangkap bahwa ikatan emosional yang semacam ini mudah dibelokkan ke arah
kepentingan politik dan ekonomi yang dapat memunculkan perselisihan antar
kelompok yang berbeda. Dalam kenyataan dewasa ini, tidak jarang ditemukan pula
simbol-simbol agama yang dijadikan sebagai sarana untuk mencapai kepentingan
politik. Bahkan dalam kasus fenomena kerusuhan konflik agama di Indonesia,
seringkali ditemukan adanya pertentangan kepentingan politik dan ekonomi yang
melatarbelakanginya.
Pertanyaan
lebih lanjut. Apa yang sudah dicapai agama dalam masyarakat? Saya melihat
bahwa keterasingan manusia dari kesosialannya haruslah ditemukan dalam struktur
masyarakat. Dalam masyarakat, kebanyakan orang bergerak karena dimotori oleh kepentingan egoisme sendiri. Dengan
kata lain, masyarakat adalah semacam sistem kebutuhan, ruang egoisme tempat manusia berupaya menjadikan orang lain hanya semata-mata sebagai sarana
pemenuh kebutuhannya. Persaingan yang sifatnya egois ini akan melahirkan
pemenang dan pecundang. Kemudian agama dimunculkan
sebagai daya yang
mengatasi egoisme individu-individu. Adanya agama dimaksudkan untuk mempersatukan masyarakat, untuk melihat lebih dalam nilai-nilai kebersamaan sebagai satu ciptaan. Agama
melakukan fungsi-fungsi indentitas yang penting dalam masyarakat. Apabila agama tidak ada, maka masyarakat dapat menjadi anarkis. Agama mengusahakan supaya manusia dalam masyarakat
bertindak adil terhadap sesamanya. Sebagai individu, manusia itu egois,
dan ia menjadi sosial karena keterikatannya
terhadap agama. Di sini, agama berperan dalam
mensucikan norma-norma dan nilai masyarakat yang telah terbentuk,
mempertahankan dominasi tujuan kelompok di atas keinginan individu dan disiplin
kelompok di atas dorongan hati individu. Dengan demikian, agama memperkuat
legitimasi pembagian fungsi, fasilitas dan ganjaran yang merupakan ciri khas
suatu masyarakat.
Selain itu, ditemukan bahwa
keterasingan dasar manusia adalah keterasingannya dari sifatnya yang sosial.
Tanda keterasingan tersebut adalah adanya eksistensi agama sebagai kekuatan untuk menyadarkan individu-individu untuk bertindak sosial, padahal
individu itu sendiri bertindak egois. Keberadaan agama tidak dapat menghilangkan karakter egois manusia dalam masyarakat, tetapi mengusahakan agar masyarakat menjadi lebih peduli terhadap keadaan
sesamanya. Secara eksistensial, manusia secara bawaan mempunyai
keinginan untuk mencari arti dari realitas dan kebanyakan manusia seturut
pengalamannya, menangkap dimensi supernatural di balik apa yang empiris. Semuan
hal ini dijumpai dalam agama. Karenanya, agama masih tetaplah diperlukan.
Referensi:
Thomas F. O’Dea, 1966. The Sociology Of Religion. New Jersey:
Engelewood Cliffs, Pretice-Hall.
Piötr Sztompka, 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta:
Prenada.
0 komentar:
Posting Komentar