Sabtu, 07 Mei 2016

PANDANGAN RENE DESCARTES AKAN ALLAH

Apabila kita boleh mempercayai banyak filsuf dan sastrawan modern, zaman kita sekarang ditandai dengan keadaan terancam, terasing, jenuh dan tanpa arti. Banyak tulisan modern syarat dengan perasaan absurditas, kebosanan, kemuakan dan sebagainya. Bagaimana timbulnya semua perasaan muram ini? Jelaslah antara lain karena dua kali terjadi perang dunia yang disertai badai kekerasan, kebencian, serta ketidakmanusiawian dan mengakibatkan korban berjuta-juta, tambah lagi semua pengungsi dan orang yang kehilangan tempat tinggal. Sesudah perang dunia, menyusul lagi perang dingin yang menjadi pangkal perlombaan senjata yang memfrustrasikan dunia sampai sekarang.

Dalam tulisan ini, penulis mencoba mendalami kembali “Pandangan Descartes Mengenai Allah”. Ia lahir pada tahun 1596 di La Haye, Prancis. Ia dididik di Kolese Yesuit terkenal di La Felche, di mana dia menerima pendididkan Aristotelian tradisional, tetapi juga belajar kemajuan modern dalam sains. Di dalam pemikirannya sendiri, Descartes pertama-tama dan terutama seorang ilmuwan, tetapi ia dikenang sebagai seorang filsafat.
            Karya Descartes merupakan karya pasca Abad Pertengahan. Karyanya menunjukkan suatu keterlepasan dari Aristoteles dan awal dari filsafat modern. Descartes ingin menguji pengetahun agar menemukan dasar untuk membangun seluruh struktur pemahaman manusia. Ia ingin mengupas segala sesuatu yang mungkin diragukan agar menemukan sesuatu yang tidak dapat diragukan sama sekali. Ia ingin menemukan pengetahuan yang pasti.[1]
            Konsep berpikir digunakan Descartes dalam pengertian yang sangat luas. Sesuatu yang berpikir, menurutnya adalah sesuatu yang meragukan, memahami, mengerti, menegaskan, menolak, berkehendak, membayangkan dan merasakan karena perasaan ketika muncul dalam mimpi adalah sebuah bentuk berpikir karena berpikir adalah esensi dari pikiran.
PANDANGAN MENGENAI ALLAH
            Bukti Descartes mengenai Allah masih menggunakan penalaran yang datang dari Aristoteles. Ia berpendapat bahwa metodenya adalah metode keraguan. Karena mengetahui lebih besar daripada meragukan, Descartes menyimpulkan bahwa ia tidaklah sempurna. Ia juga menyimpulakan bahwa ia tidaklah sempurna. Ia juga menyimpulkan bahwa ia tidak dapat menjadi Allah, sebab seandainya begitu ia akan menciptakan dirinya sendiri sempurna dan pada kenyataannya dia tidaklah sempurna.
            Jika eksistensi Tuhan telah dibuktikan, selebihnya akan berjalan dengan mudah. Jika Tuhan itu baik, Dia tidak akan berbuat seperti setan penipu yang dibayangkan Descartes sebagai alasan untuk meragukan segala sesuatu. “Sekarang Tuhan telah memberiku sebuah kecenderungan kuat untuk percaya pada benda-benda yang jika tidak ada maka Tuhan akan menjadi penipu; karenanya benda-benda itu ada. Selain itu, Dia Tuhan telah memberiku fakultas untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan. Aku mempergunakan fakultas ini ketika aku menerapkan prinsip bahwa apa yang jelas dan nyata itu benar. Ini memungkinkan aku bisa mengetahui matematika, juga fisika jika aku ingat bahwa aku harus mengetahui kebenaran tentang benda-benda dengan pikiran semata, bukan dengan pikiran dan tubuh secara bersama-sama.[2]
            Mengerti itu lebih besar daripada meragukan, dan sempurna itu lebih besar daripada tidak sempurna. Descartes mempunyai ide sesuatu yang tidak sempurna itu seperti apa, tetapi ia sendiri tidaklah sempurna. Ide kesempurnaan pasti datang dari suatu tempat. Ide itu pasti datang dari Allah, karena Descartes sendiri terlalu tidak sempurna untuk memikirkannya. Maka Allah pasti ada.
            Descartes menggunakan metode ontologism. Allah adalah sempurna. Lebih sempurna untuk berada daripada tidak ada. Maka Allah ada. Eksistensi Allah berada dalam definisi Allah. Sebagaimana sebuah segitiga mempunyai tiga sudut, demikianlah Allah berada.
            Descartes meneruskan untuk menggunakan Allah sebagai jaminan bagi eksistensi dunia luar. Kalau Allah sempurna, maka ia mutlak tidak dapat menipu kita. Maka tidak mungkin ada setan penipu, karena Allah tidak menginginkan kita tertipu.
            “Setiap pengertian yang jelas dan terpilah pastilah merupakan sesuatu, dan oleh karenanya tidak dapat datang dari ketiadaan, tetapi secara niscaya datang dari Allah. Allah, aku katakan, yang sangatlah sempurna, dan tidak dapat menjadi sebab kekeliruan mana pun. Buktinya;
-          Budi menerima saja ide-ide dan bersifat pasif. Bila budi saya pasif ia akan lembam, sehingga pasti ada bagian aktif yang terpisah dari budi saya.
-          Ide-ide di dalam budi saya pastilah disebabkan oleh hal-hal yang aktif, yaitu badan. Maka, saya mempunyai badan, ide-ide di dalam budi saya datang dari badan dan dengan begitu badan saya dan objek-objek di dunia ada.
-          Dunia tampak berada di sana, dan sebagaimana Allah tidak menghendaki kita ditipu kita dapat percaya bahwa kita berada di sana.
Meskipun begitu, Descartes menekankan bahwa hanya sifat-sifat matematis dari objek-objek sajalah yang pasti: bentuk, ukuran, dan sebagainya. Sedangkan sifat-sifat indrawi, warna, bau selalu terbuka bagi keraguan. Maka, Descartes menarik garis antara sifat-sifat kuantitatif objek dan sifat-sifat kualitatif. Kita boleh yakin mengenai yang pertama, tetapi tidak demikian dengan yang kedua.
      Filsafat Descartes mempunyai cap khususnya sendiri. Jiwa terpisah dari badan. Kita adalah budi, atau benda berpikir, yang melekat pada badan. Oleh karenanya, jiwa bersifat tidak dapat mati. Filsafatnya mengisyaratkan pemisahan lengkap antara budi dan badan, dan ini disebut dualisme. Ia berendapat bahwa budi adalah substansi nonjasmani, yang terpilah dari substansi material atau badani. Setiap substansi mempunyai sifat atau cirri khusus. Maka, misalnya sifat substansi budi adalah kesadaran dan sifat substansi material atau badani adalah kepanjangan atau kedalaman.
      Descartes yakin bahwa manusia dilahirkan dengan ide-ide bawaan. Dalam hal ini ia seperti Plato. Kita mempunyai ide mengenai Allah, tetapi kita tidak pernah bertemu dengan Allah melalui indra kita. Kita mempunyai ide mengenai lingkaran sempurna, tetapi kita tidak pernah menemuinya di dunia dan dengan begitu kita lahir dengan ide-ide tertentu di dalam diri kita yang kita temukan melalui akal budi; tentu saja, ide mengenai Allah atau pengada sempurna tertinggi, merupakan salah satu yang kita temukan di dalam diri kita sebagaimana dengan pasti ide mengenai bentuk atau angka tertentu. Ide-ide bawaan ini member kita; pengetahuan mengenai diri kita sendiri, pengetahuan mengenai Allah, pengetahuan mengenai matematika.
      Maka, filsafat Descartes, bersifat rasionalistis, dalam pengertian bahwa kita sampai pada pengetahuan pasti melalui akal budi dan tidak perlu bersandar pada indra kita. Di dalam filsafat Descartes, kepercayaan akan Allah datang sebelum kepercayaan akan ilmu. Tetapi, Allahnya tidak dengan sendirinya Allah Kristen, yang berkaitan dengan keselamatan, imbalan, dan hukuman, dan jiwanya tidak dengan sendirinya jiwa Kristen.
      Descartes ingin menjadi Aristoteles zaman modern. Sejarah tidak memberinya itu, tetapi filsafatnya telah membuka pintu ke sains modern dan di dalam zaman modern, akal budi masih sangat berkuasa.
Descartes mendefnisikan substansi adalah sesuatu yang tidak membutuhkan sesuatu yang lain untuk berada. Kalau definisi ini dimengerti dengan baik, maka sebetulnya hanya mungkin satu substansi saja. Descartes tentu melihat konsekuensi ini, tetapi ia mundur sedikit dengan bertanya: apakah definisi ini sungguh-sungguh betul? Untuk Dia, Allah adalah substansi dalam arti yang sebenarnya sebab Ia berada karena diri-Nya sendiri. Namun di samping itu, ia masih menerima cukup banyak substansi lain biarpun tentang substansi-substansi itu definisinya tidak berlaku secara absolute, melainkan relatif saja.
            Dengan demikian, Descartes sampai batasan: “Substansi adalah sesuatu yang berada pada dirinya dan dimengerti dari dirinya, artinya yang tidak membutuhkan penertian lain untuk membentuknya”. Maka sudah jelaslah, bagi Spinoza hanya mungkin satu substansi saja yang disebutnya Yang Tak Terhingga, Allah.

DAFTAR PUSTAKA
Linda Smith dan William Raeper, IDE-IDE FILSAFAT DAN AGAMA DULU DAN SEKARANG, Yogyakarta: Kanisius,2000.
Bertrand Russell, SEJARAH FILSAFAT BARAT, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Paul Strathern, 90 MENIT BERSAMA DESCARTES, Jakarta: Erlangga, 2001.
P.A. Van der Weij, FILSUF-FILSUF BESAR TENTANG MANUSIA, Yogyakarta: Kanisius 2002.




[1] Smith Linda, Raeper William, Ide ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hlm. 60.
[2] Russel Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Belajar,  2007, hlm743.

0 komentar:

Posting Komentar