Apabila kita
boleh mempercayai banyak filsuf dan sastrawan modern, zaman kita sekarang
ditandai dengan keadaan terancam, terasing, jenuh dan tanpa arti. Banyak
tulisan modern syarat dengan perasaan absurditas, kebosanan, kemuakan dan
sebagainya. Bagaimana timbulnya semua perasaan muram ini? Jelaslah antara lain
karena dua kali terjadi perang dunia yang disertai badai kekerasan, kebencian,
serta ketidakmanusiawian dan mengakibatkan korban berjuta-juta, tambah lagi
semua pengungsi dan orang yang kehilangan tempat tinggal. Sesudah perang dunia,
menyusul lagi perang dingin yang menjadi pangkal perlombaan senjata yang
memfrustrasikan dunia sampai sekarang.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba mendalami kembali “Pandangan Descartes Mengenai Allah”. Ia lahir pada tahun 1596 di La Haye, Prancis. Ia dididik di Kolese Yesuit terkenal di La Felche, di mana dia menerima pendididkan Aristotelian tradisional, tetapi juga belajar kemajuan modern dalam sains. Di dalam pemikirannya sendiri, Descartes pertama-tama dan terutama seorang ilmuwan, tetapi ia dikenang sebagai seorang filsafat.
Karya Descartes merupakan karya pasca Abad Pertengahan.
Karyanya menunjukkan suatu keterlepasan dari Aristoteles dan awal dari filsafat
modern. Descartes ingin menguji pengetahun agar menemukan dasar untuk membangun
seluruh struktur pemahaman manusia. Ia ingin mengupas segala sesuatu yang
mungkin diragukan agar menemukan sesuatu yang tidak dapat diragukan sama
sekali. Ia ingin menemukan pengetahuan yang pasti.[1]
Konsep berpikir digunakan Descartes dalam pengertian yang
sangat luas. Sesuatu yang berpikir, menurutnya adalah sesuatu yang meragukan,
memahami, mengerti, menegaskan, menolak, berkehendak, membayangkan dan
merasakan karena perasaan ketika muncul dalam mimpi adalah sebuah bentuk
berpikir karena berpikir adalah esensi dari pikiran.
PANDANGAN MENGENAI ALLAH
Bukti Descartes mengenai Allah masih menggunakan
penalaran yang datang dari Aristoteles. Ia berpendapat bahwa metodenya adalah
metode keraguan. Karena mengetahui lebih besar daripada meragukan, Descartes
menyimpulkan bahwa ia tidaklah sempurna. Ia juga menyimpulakan bahwa ia
tidaklah sempurna. Ia juga menyimpulkan bahwa ia tidak dapat menjadi Allah,
sebab seandainya begitu ia akan menciptakan dirinya sendiri sempurna dan pada
kenyataannya dia tidaklah sempurna.
Jika eksistensi Tuhan telah dibuktikan, selebihnya akan
berjalan dengan mudah. Jika Tuhan itu baik, Dia tidak akan berbuat seperti
setan penipu yang dibayangkan Descartes sebagai alasan untuk meragukan segala
sesuatu. “Sekarang Tuhan telah memberiku sebuah kecenderungan kuat untuk
percaya pada benda-benda yang jika tidak ada maka Tuhan akan menjadi penipu;
karenanya benda-benda itu ada. Selain itu, Dia Tuhan telah memberiku fakultas
untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan. Aku mempergunakan fakultas ini ketika aku
menerapkan prinsip bahwa apa yang jelas dan nyata itu benar. Ini memungkinkan
aku bisa mengetahui matematika, juga fisika jika aku ingat bahwa aku harus
mengetahui kebenaran tentang benda-benda dengan pikiran semata, bukan dengan
pikiran dan tubuh secara bersama-sama.[2]
Mengerti itu lebih besar daripada meragukan, dan sempurna
itu lebih besar daripada tidak sempurna. Descartes mempunyai ide sesuatu yang
tidak sempurna itu seperti apa, tetapi ia sendiri tidaklah sempurna. Ide
kesempurnaan pasti datang dari suatu tempat. Ide itu pasti datang dari Allah,
karena Descartes sendiri terlalu tidak sempurna untuk memikirkannya. Maka Allah
pasti ada.
Descartes menggunakan metode ontologism. Allah adalah
sempurna. Lebih sempurna untuk berada daripada tidak ada. Maka Allah ada.
Eksistensi Allah berada dalam definisi Allah. Sebagaimana sebuah segitiga
mempunyai tiga sudut, demikianlah Allah berada.
Descartes meneruskan untuk menggunakan Allah sebagai
jaminan bagi eksistensi dunia luar. Kalau Allah sempurna, maka ia mutlak tidak
dapat menipu kita. Maka tidak mungkin ada setan penipu, karena Allah tidak
menginginkan kita tertipu.
“Setiap pengertian yang jelas dan terpilah pastilah
merupakan sesuatu, dan oleh karenanya tidak dapat datang dari ketiadaan, tetapi
secara niscaya datang dari Allah. Allah, aku katakan, yang sangatlah sempurna,
dan tidak dapat menjadi sebab kekeliruan mana pun. Buktinya;
-
Budi menerima saja ide-ide dan bersifat pasif. Bila budi saya
pasif ia akan lembam, sehingga pasti ada bagian aktif yang terpisah dari budi
saya.
-
Ide-ide di dalam budi saya pastilah disebabkan oleh hal-hal
yang aktif, yaitu badan. Maka, saya mempunyai badan, ide-ide di dalam budi saya
datang dari badan dan dengan begitu badan saya dan objek-objek di dunia ada.
-
Dunia tampak berada di sana, dan sebagaimana Allah tidak menghendaki
kita ditipu kita dapat percaya bahwa kita berada di sana.
Meskipun begitu, Descartes menekankan bahwa hanya sifat-sifat matematis
dari objek-objek sajalah yang pasti: bentuk, ukuran, dan sebagainya. Sedangkan
sifat-sifat indrawi, warna, bau selalu terbuka bagi keraguan. Maka, Descartes
menarik garis antara sifat-sifat kuantitatif objek dan sifat-sifat kualitatif.
Kita boleh yakin mengenai yang pertama, tetapi tidak demikian dengan yang
kedua.
Filsafat Descartes mempunyai
cap khususnya sendiri. Jiwa terpisah dari badan. Kita adalah budi, atau benda
berpikir, yang melekat pada badan. Oleh karenanya, jiwa bersifat tidak dapat
mati. Filsafatnya mengisyaratkan pemisahan lengkap antara budi dan badan, dan
ini disebut dualisme. Ia berendapat bahwa budi adalah substansi nonjasmani,
yang terpilah dari substansi material atau badani. Setiap substansi mempunyai
sifat atau cirri khusus. Maka, misalnya sifat substansi budi adalah kesadaran
dan sifat substansi material atau badani adalah kepanjangan atau kedalaman.
Descartes yakin bahwa manusia
dilahirkan dengan ide-ide bawaan. Dalam hal ini ia seperti Plato. Kita
mempunyai ide mengenai Allah, tetapi kita tidak pernah bertemu dengan Allah
melalui indra kita. Kita mempunyai ide mengenai lingkaran sempurna, tetapi kita
tidak pernah menemuinya di dunia dan dengan begitu kita lahir dengan ide-ide
tertentu di dalam diri kita yang kita temukan melalui akal budi; tentu saja,
ide mengenai Allah atau pengada sempurna tertinggi, merupakan salah satu yang
kita temukan di dalam diri kita sebagaimana dengan pasti ide mengenai bentuk
atau angka tertentu. Ide-ide bawaan ini member kita; pengetahuan mengenai diri
kita sendiri, pengetahuan mengenai Allah, pengetahuan mengenai matematika.
Maka, filsafat Descartes,
bersifat rasionalistis, dalam pengertian bahwa kita sampai pada pengetahuan
pasti melalui akal budi dan tidak perlu bersandar pada indra kita. Di dalam
filsafat Descartes, kepercayaan akan Allah datang sebelum kepercayaan akan
ilmu. Tetapi, Allahnya tidak dengan sendirinya Allah Kristen, yang berkaitan
dengan keselamatan, imbalan, dan hukuman, dan jiwanya tidak dengan sendirinya
jiwa Kristen.
Descartes ingin menjadi
Aristoteles zaman modern. Sejarah tidak memberinya itu, tetapi filsafatnya
telah membuka pintu ke sains modern dan di dalam zaman modern, akal budi masih
sangat berkuasa.
Descartes mendefnisikan substansi adalah sesuatu yang tidak membutuhkan
sesuatu yang lain untuk berada. Kalau definisi ini dimengerti dengan baik, maka
sebetulnya hanya mungkin satu substansi saja. Descartes tentu melihat
konsekuensi ini, tetapi ia mundur sedikit dengan bertanya: apakah definisi ini
sungguh-sungguh betul? Untuk Dia, Allah adalah substansi dalam arti yang
sebenarnya sebab Ia berada karena diri-Nya sendiri. Namun di samping itu, ia
masih menerima cukup banyak substansi lain biarpun tentang substansi-substansi
itu definisinya tidak berlaku secara absolute, melainkan relatif saja.
Dengan demikian, Descartes sampai batasan: “Substansi
adalah sesuatu yang berada pada dirinya dan dimengerti dari dirinya, artinya
yang tidak membutuhkan penertian lain untuk membentuknya”. Maka sudah jelaslah,
bagi Spinoza hanya mungkin satu substansi saja yang disebutnya Yang Tak
Terhingga, Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Linda Smith dan William
Raeper, IDE-IDE FILSAFAT DAN AGAMA DULU DAN SEKARANG, Yogyakarta:
Kanisius,2000.
Bertrand Russell, SEJARAH
FILSAFAT BARAT, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Paul Strathern, 90 MENIT
BERSAMA DESCARTES, Jakarta: Erlangga, 2001.
P.A. Van der Weij,
FILSUF-FILSUF BESAR TENTANG MANUSIA, Yogyakarta: Kanisius 2002.
0 komentar:
Posting Komentar